Jumat kemarin saya shalat Jumat di masjid Al Akbar Surabaya. Sudah lama tidak shalat Jumat di sini. Tapi sebenarnya lebih tepatnya saya jarang shalat Jumat di masjid agung ini. Mungkin bisa dihitung dengan jari. Kebanyakan saya shalat Jumat ya dekat kantor atau rumah. Hehehe.
Oleh: Mochamad Yusuf*
Tapi ada yang menarik saat shalat Jumat di sana. Yakni setelah shalat Jumat selesai, dilanjutkan dengan acara tanya jawab. Pembicaranya ya khatib Jumat tersebut yakni seorang guru besar IAIN Sunan Ampel Surabaya (saya lupa namanya). Tidak ada prolog, jamaah langsung bisa mengajukan pertanyaan. Rasanya pertanyaannya tidak dibatasi dengan tema khutbah Jumat yang barusan disampaikan (tentang haji).
Pertanyaan pertama adalah bagaimana menghadapi stress? Saya sebenarnya sudah dalam perjalanan keluar masjid karena harus cepat kembali ke kantor, namun mendengar pertanyaan ini saya sampai kembali ke masjid.
Kata sang khatib, stres itu muncul karena ada kesenjangan/perbedaan antara keinginan dengan realitas yang ada. Semakin jauh kesenjangannya semakin besar potensi stres yang muncul. Misal: harapannya bisa memiliki mobil baru, tapi kenyataannya penghasilannya tidak cukup membelinya. Bila dia berharap terus memiliki mobil padahal tidak mampu beli ini bisa menyebabkan stres.
Lalu apa resepnya?
Sang khatib tidak langsung menjawabnya, tapi bercerita tentang dirinya. Sang khatib, yang berasal dari Blitar ini, akhirnya kuliahnya mencapai gelar sarjana muda (BA). Jaman dulu tahapan kuliah memang seperti itu, ada sarjana mudanya. Dengan bekal sarjana muda dia melamar menjadi guru di Probolinggo. Dengan usaha sungguh-sungguh, bahkan sempat menemui Kanwil-nya, harapan menjadi guru kandas. Sempat stres karena gagal jadi guru, dia kembali meneruskan kuliahnya.
Akhirnya dapat menyelesaikan sarjana penuh dengan gelar Drs. Sekali lagi dengan gelar sarjana, yang waktu itu jarang orang meraihnya, dia melamar jadi guru di Probolinggo. Sekali lagi gagal. Lalu mencoba di Malang, gagal juga. Harapan menjadi guru ternyata tidak kesampaian. Dia sampai heran, apa ada yang salah kok keinginan menjadi guru tidak bisa terwujud.
Tidak mau stres berlama-lama dia akhirnya menerima keputusan dari Allah. Dia menerima takdirnya. Dia percaya bahwa keputusan Allah menggagalkan keinginannya ini karena Allah telah membuat keputusan yang lebih baik untuknya. Akhirnya setelah tenang, dia melamar menjadi dosen IAIN. Kali ini diterima. Ternyata di IAIN dia malah berhasil mencapai karir tertinggi, Wakil Rektor, dan meraih gelar profesor.
Dia berujar ke para jamaah, kalau misalnya Tuhan mengabulkan harapannya dulu dia akan kesulitan. Karena keluarganya di Blitar padahal kerja di Probolinggo. Sebuah perjalanan yang cukup jauh. Dan tentu saja tidak bisa berdiri di hadapan jamaah sekarang ini, selorohnya.
Jadi kunci menghadapi stres adalah selalu berdoa, berikhtiar namun selalu tawakkal terhadap semua keputusan yang ditetapkan Allah padanya. Karena bisa jadi bila harapan yang diinginkan tidak tercapai, Allah telah merencanakan yang lebih baik bagi kita. Dengan begitu hidup terasa damai dan tidak pernah stres.
Bagaimana menurut Anda?
*Mochamad Yusuf dapat ditemui di http://fb.me/mcd.yusuf
Oh begitu ya obatnya… Cukup simple, meski tak sesimple saat dilakukan..