“Lihatlah Bu, betapa bahagianya suami istri yang naik motor itu. Meskipun mereka juga kehujanan, tapi mereka bisa cepat di rumah. Tidak seperti kita yang harus lelah berjalan untuk sampai ke rumah”.
Oleh: Mochamad Yusuf*
Suatu saat seorang teman, anggap saja Budi, berkunjung ke kantor. Dia bermaksud membuat website perusahaannya. Karena perusahaan saya memang mempunyai jasa seperti itu, saya minta datang saja ke kantor. Setelah berbincang bisnis bahkan sempat melongok ruang kerja kita (workshop), kita mulai mengobrol-ngobrol lain.
Mulailah kita bercerita masa lalu. Waktu kita sekolah dulu. Lalu dia menanyakan kabar beberapa teman. Saya menceritakan kabar beberapa teman terbaru yang saya ketahui. Ketika saya menyebut kabar seorang teman, anggap saja Agus, dia tertegun.
Lalu dia berkomentar, “Enak sekali ya si Agus. Sekarang dia sudah sukses dengan usaha sendiri. Pasti menyenangkan punya waktu yang tak diatur oleh perusahaan.” Mulailah dia berkeluh kesah dengan kondisinya sekarang. Keluhannya seperti dia berharap menjadi Agus.
Ajaibnya, waktu pulang saya ditelpon oleh Agus. Dia mau mampir ke rumah. Dia memang sebelumnya pernah beberapa kali bertandang ke rumah.
Benar, dia datang dengan membawa mobil. Tak mewah, tapi cukup baru. Dia bercerita barusan menemui kliennya. Dan karena sudah di dekat rumahn saya, dia bermaksus mampir sekalian. Lalu saya bercerita kedatangan teman kita, Agus, di kantor siangnya.
Eh sebelum saya bercerita maksud kedatangan si Agus, dia sudah berkomentar, “Enak sekali dia ya. Sekarang dia kerja di perusahaan besar. Pasti banyak fasilitas yang didapat. Tak perlu memikirkan bagaimana membayar gaji karyawan.” Mulailah dia berkeluh kesah tentang keadaannya sekarang.
Saya bengong, mulut saya ternganga. Mau bercerita tentang keluhan Budi itu, tapi karena si Agus sudah telanjur bercerita keluh kesahnya, saya hanya diam mendengarkan. Keluhannya seakan-akan enak menjadi Budi.
Kalau saja Budi mendengar cerita Agus, dia tak mau menjadi Agus. Sebaliknya si Agus pasti tak mau menjadi Budi. Kalau semua berkeluh kesah, sebenarnya siapa yang merasa menikmati hidup ini? Siapa yang merasa puas dan bahagia dengan hidup ini?
Saya jadi teringat kisah pak tani dan bu tani.
~~~
Seorang petani dan istrinya bergandengan tangan menyusuri jalan sepulang dari sawah. Hujan turun deras sekali. Lewatlah sebuah motor di depan mereka, berkatalah petani pada istrinya “Lihatlah Bu, betapa bahagianya suami istri yang naik motor itu. Meskipun mereka juga kehujanan, tapi mereka bisa cepat sampai dirumah. Tidak seperti kita yang harus lelah berjalan untuk sampai ke rumah”.
Sementara itu pengendara sepeda motor dan istrinya yang berboncengan di bawah derasnya air hujan melihat sebuah mobil pick up lewat di depan mereka. Pengendara motor itu berkata kepada istrinya “Lihat Bu, betapa bahagianya orang yang naik mobil itu. Mereka tidak perlu kehujanan seperti kita”.
Di dalam mobil pick up yang dikendarai sepasang suami istri terjadi perbincangan ketika sebuah mobil sedan Mercy lewat di hadapan mereka “Lihatlah bu, betapa bahagia orang yang naik mobil bagus itu. Mobil itu pasti nyaman dikendarai. Tidak seperti mobil kita yang sering mogok”.
Pengendara mobil Mercy itu seorang pria kaya. Ketika dia melihat sepasang suami istri yang berjalan bergandengan tangan di bawah guyuran air hujan yang deras, pria kaya itu berkata dalam hatinya, “Betapa bahagianya suami istri itu. Mereka dengan mesranya berjalan bergandengan tangan sambil menyusuri indahnya jalan di pedesaan ini. Sementara aku dan istriku tidak pernah punya waktu untuk berdua, karena kesibukan kami masing masing”.
~~~
Kebahagiaan tak akan pernah kita miliki jika kita hanya melihat kebahagiaan milik orang lain. Kebahagiaan tak akan pernah bisa kita nikmati, bila selalu membandingkan hidup kita dengan hidup orang lain. [TSA, 03/05/2010 subuh]
~~~
*Mochamad Yusuf adalah online analyst, pembicara publik, host radio, pengajar sekaligus praktisi TI di SAM Design. Aktif menulis dan beberapa bukunya telah terbit. Anda dapat mengikuti aktivitasnya di personal websitenya atau di Facebooknya.
@Irma
Siip! Terima kasih mottonya.
I have a motto (actually it’s from a song) “live life with no regret”
Rumput tetangga selalu terasa lebih hijau. Benar bukan?
Pingback: ..| Home of Mochamad Yusuf |..