Bagaimana sebenarnya kita mengukur derajat orang lain? Kalau mengacu pada kitab suci, maka cara mengukurnya cukup mudah. Yakni dengan melihat kadar ketakwaannya. Tapi kita kan bukan Tuhan?
Oleh: Mochamad Yusuf*
Dalam perjalanan dinas ke Lombok, saya mendapat sebuah pelajaran. Dalam perjalanan di ketinggian sekitar 800 meter di atas pulau Bali, saya melihat sebuah peristiwa unik. Saat itu saya dari Surabaya menuju Mataram. Waktunya seperti sekarang ini, beberapa waktu sebelum lebaran. Tapi saya lupa apakah sudah masuk bulan puasa atau tidak. Sepertinya belum. Jadi mungkin sebulan lebih sebelum lebaran.
Waktu menunggu sebelum boarding belum ada sebuah ‘masalah’. Masalah muncul setelah masuk pesawat. Ternyata sebagian besar penumpang adalah TKI. Mereka terlihat dari perawakan yang sepertinya bukan orang kaya. Kebanyakan hanya memakai pakaian asal. Seperti kaos lusuh, atau kalau memakai kemeja tak menggunakan kaos dalam.
Entah bagaimana perjalanan mereka sebelum sampai Surabaya. Apakah juga naik udara, laut atau darat. Yang jelas mereka terlihat lusuh. Bahkan sebagian penuh keringat. Sehingga baju mereka basah. Baju yang tak menggunakan kaos dalam itu, jelas langsung tembus dengan keringat. Bau badan terasa menusuk.
Melihat seperti ini, ada beberapa penumpang yang terlihat kaya sepertinya enggan naik pesawat. Tapi mereka sepertinya tak ada pilihan. Mereka tak bisa melarang para TKI naik pesawat. Toh mereka juga membeli tiket yang sama. Maka para orang kaya ini tak ada pilihan selain duduk bersama mereka.
Saya sendiri sebenarnya jengah juga dengan mereka. Di samping kanan saya ada 2 TKI (saya duduk dekat jendela). Tapi saya putuskan cuek saja dan mengajaknya bercakap. Ternyata mereka para TKI yang bekerja di perkebunan sawit di Malaysia. Saya lupa tepatnya di negara bagian mana. Yang jelas negara bagian Malaysia yang lokasinya di pulau Kalimantan.
Yang duduk persis di sebelah saya ternyata baru 5 tahun ini bisa kembali ke rumah. Dia meninggalkan Lombok saat anaknya belum genap 1 tahun. Dan sekarang anaknya sudah berumur lebih dari 5 tahun. Dia hidup di penampungan bersama para pekerja lainnya dekat perkebunan. Sehari-hari ya bekerja di perkebunan. Tak ada hiburan. Hiburan paling radio dan televisi setempat. Maka tak heran, saya dengar logatnya sudah berlogat Malaysia. Hehehe.
Sambil bercakap-cakap dengan TKI di samping saya, saya melihat para orang kaya yang duduk juga berhimpitan dengan para TKI itu. Sepertinya mereka tersiksa. Mereka merasa ‘jijik’ berdekatan dengan para TKI. Mereka merasa kedudukannya tak sama dengan para TKI yang sebagian hitam legam terbakar matahari. Para orang kaya ini merasa kedudukannya lebih tinggi dari para kuli Malaysia.
Jadi mereka terlihat lega saat sudah sampai bandara Selaparang, Mataram. Dan mereka terlihat bisa menunjukkan ‘power’nya saat dikerumuni penjemputnya dan berjalan ke mobil yang akan mengantarkan. Sedangkan para TKI tertahan menunggu barang bawaan yang banyak dan dikerumuni para calo yang menawarkan kendaraan.
Saya sendiri melihat sedih dan prihatin melihat mereka. Mereka yang seharusnya menjadi pahlawan devisa, sepertinya jadi sapi perah mendapatkan keuntungan dari kecapekan dan ketidaktahuan para TKI itu. Sedih. Tapi saya tak memperpanjang masalah penderitaan TKI sebagai sapi perah. Saya ingin fokus pada pandangan para orang kaya melihat kedudukannya dibandingkan para TKI.
Bagaimana sebenarnya kita mengukur derajat orang lain? Kalau mengacu pada kitab suci, maka cara mengukurnya cukup mudah. Yakni dengan melihat kadar ketakwaannya. Bagi Tuhan, mereka yang memiliki derajat paling tinggi adalah mereka yang memiliki kadar ketakwaannya yang tinggi. Tapi kita kan bukan Tuhan?
Kita sebagai manusia tak memiliki pandangan yang bisa menembus badan dan melihat kadar ketakwaan seseorang kan? Kalau yang ini, saya angkat tangan. Biarlah Tuhan yang mempunyai kuasa untuk mendudukkan seseorang pada derajatnya masing-masing. Apalagi sebenarnya semua kegiatan/ibadah dilihat pada niatnya. Ini manusia takkan bisa melihat niat seseorang dengan mudah.
Maka saya akan melihat seseorang dari perilaku dan perbuatan yang dia lakukan. Melihat bagaimana dia keseharian berperilaku. Apakah sesuai dengan tuntunan agamanya. Ini juga tak bisa dilihat dengan mudah.
Maka yang bisa dilihat lagi adalah perbuatan. Apakah perbuatan yang dia lakukan berguna bagi orang lain. Seberapa besar yang dia lakukan berguna bagi orang lain? Apalagi orang lain sungguh tergantung dengan perbutannya.
Kalau dia tak ada, orang itu bagaikan kehilangan. Makin banyak orang ‘ditolong’ dengan perbuatannya, maka makin tinggi derajatnya. Tak peduli yang ‘ditolong’ berterima kasih atau tidak. Bahkan tak peduli dia merasakan ‘bantuannya’ itu. Semakin banyak hal berguna yang dia lakukan, semakin banyak orang yang mendapat perbuatan bergunanya, semakin tinggi ukurannya.
Tentu saja lebih indah lagi, kalau orang itu melakukannya dengan niat baik dan ikhlas. Bagaimana menurut Anda? [TSA, 4 Ramadhan 1433H / 23 Juli 2012M subuh]
~~~
Serial “Obrolan di Bawah Rindangnya Cemara” ini adalah janji saya di awal bulan puasa 2012 untuk membuat sebuah kegiatan yang bermanfaat dan berbeda dengan Ramadhan-Ramadhan saya yang lain. Yakni membuat sebuah tulisan setiap harinya selama bulan Ramadhan. Semoga bisa! Amin.
~~~
*Mochamad Yusuf adalah online analyst, pembicara publik, host radio, pengajar sekaligus praktisi TI. Aktif menulis dan beberapa bukunya telah terbit. Yang terbaru, “Jurus Sakti Memberangus Virus Pada Komputer, Handphone & PDA”. Anda dapat mengikuti aktivitasnya di personal websitenya, http://yusuf.web.id atau di Facebooknya, http://facebook.com/mcd.yusuf .
Pangkat derajat seseorang tak ada gunanya klo tidak bisa berperilaku baik dan ‘berguna’ tuk sesama.
@Ericha Putri
Betul sekali…
Pingback: Zaman kerajaan dulu ada tingkatan meliha « ..| Home of Mochamad Yusuf |..