Meski saya sudah jadi warga Pare selama 10 tahun, namun ini pertama kali shalat Ied di sini. Perjalanan sejarah ditambah ulang tahunnya Zidan menjadi sebuah pengalaman seru di Pare. Bagaimana serunya?
Oleh: Mochamad Yusuf*
Kita sudah lama merencanakan perjalanan ini. Yakni shalat ied Idul Adha di Pare. Sebenarnya kita tidak pernah melakukan perjalanan luar kota waktu Idul Adha. Sering kita menghabiskan waktu idhul Qurban, nama lain Idul Adha, dengan membantu penyembelihan kurban. Seperti tahun lalu saya ikut penyembelihan di kantor.
Dan kalau saya memang benar shalat ied Adha di pare, berarti pengalaman pertama saya shalat Ied di sana. Ya, saya tak pernah shalat ied di sana. Shalat ied Idul Fithri sekalipun. Meskipun saya sudah jadi warga Pare selama 10 tahun.
Ya, sejak beristri Wati, orang Pare, saya selalu shalat ied di Surabaya. Hari pertama lebaran selalu di Surbaya. Baru besoknya berangkat ke Pare. Hari raya pertama saya habiskan melakukan silaturahmi pada orang tua, tetangga lama dan sahabat lama. Baru hari raya kedua melakukan silaturahmi ke mertua. Dan biasanya dilanjutkan perjalanan wisata lainnya.
Sebagaimana biasa shalat ied di Surabaya, kita sudah bangun pagi-pagi. Saya sudah mandi pukul 4.30. Dan kemudian dilanjutkan dengan anggota keluarga yang lain. Setelah shalat subuh, kita minum untuk menunjukkan hari itu kita tidak puasa. Ya, hari raya memang diharamkan berpuasa. Sebelum jam 5 kita semua sudah siap.
Tapi alangkah terkejutnya saya iinformasikan bahwa shalat Ied tidak dimulai pukul 6, tapi lebih (nanti saya tahu lebihnya malah banyak). Kalau di Surabaya kita biasanya berangkat dari rumah sekitar pukul 5, meski sebenarnya cukup dekat jarak yang kita tempuh. Yakni sekitar 5 km ke masjid agung Surabaya. Karena kalau tidak kita akan sulit mendapat parkir dan mendapat tempat di belakang, bahkan di sela-sela ruang kosong (saya pernah mengalami hal ini).
Karena itu meski saya tahu jadwalnya lebih terlambat di Pare, saya tetap memutuskan berangkat pukul 5.30. Sebenarnya jaraknya cukup dekat, sekitar 2 km dari rumah. Diantar Karin Black, mobil Corona Absolute kesayangan, kita berempat ditambah keponakan sampai di sana 5 menit kemudian.
Masjid agung An-Nuur masih sepi. Parkiran cukup lengang, sehingga saya bebas parkir di mana saja. Saya pilih parkir di bawah rindangnya pohon. Masuk ke masjid, saya agak panik karena saya lihat jamaah sudah duduk di belakang. Terlambatkah saya? Ternyata masjid lagi direnovasi lantainya, sehingga yang bisa dipakai hanya lantai yang belakang. Saya duduk sekitar 7 shaft di depan mihrab.
Saya lihat si Mika Hakkinen, jam tangan saya yang dari Mekkah, menunjukkan pukul 05.30 lebih 5 menit. Dan kita mulai ikut bertakbir. Sampai hampir pukul 06.30 tidak ada pengumuman kapan dimulainya. Zidan sudah mulai gelisah, tanya kapan mulainya. Saya bilang setelah ini. Bersamaan dengan itu mulai hadir para pejabat(sepertinya). Mereka duduk di 2 shaft depan yang telah disediakan.
Pukul 06.30 takbir berhenti. Takmir mulai memberikan pengumuman, di antaranya jumlah korban yang diterima dan pembagiannya. Zidan masih gelisah, tanya kapan mulainya. Saya bilang setelah pengumuman ini selesai. Tapi apa lacur? Setelah pengumuman selesai, masih ada acara sambutan dari bapak Bupati. Saya kaget. Pengalaman saya shalat ied di Surabaya tidak pernah ada kejadian seperti ini. Saya pernah shalat diikuti oleh Walikota. Bahkan terakhir-terakhir saya selalu shalat ied di masjid agung Surabaya yang selalu diikuti oleh gubernur. Tidak pernah sekalipun mereka memberi sambutan. Bahkan saya ingat-ingat di masjid Istiqlal, bapak Presiden juga tidak memberi sambutan.
Jadinya kita baru mulai shalat ied pukul 06.40. Dan mulailah khutbah pada pukul 06.48. Saya berpikir apa tidak terlalu kesiangan. Apa tidak kasihan yang tidak mendapat tempat di dalam masjid. Biasanya dalam shalat ied kita ajak semua anggota keluarga untuk berbondong-bondong ke masjid. Sehingga sering terpaksa harus shalat di luar, meski memang sudah disediakan. Lha, kalau di lapangan tentu lebih kasihan lagi.
Dan terbukti ketika jeda khutbah menuju khutbah kedua, gaya NU, saya coba toleh ke belakang. Jamaah yang shalat di luar, halaman masjid, terlihat sudah kocar-kacir. Banyak jamaah yang sudah meninggalkan tempat. Ada juga jamaah yang duduk berteduh.
Aduh, seharusnya ini dipikirkan juga oleh takmir. Karena khutbah juga penting. Tidak sekedar shalatnya. Karena dengan khutbah ini kita dapat siraman rohani. Dulu waktu saya shalat ied di lapangan, ya waktu saya tinggal di Bratang, sejak awal panitia sudah mewanti-wanti untuk tidak meninggalkan tempat sebelum selesainya khutbah. Bahkan di masjid agung Surabaya, tempat tujuan shalat ied setelah saya tinggal di rumah sekarang ini, selalu disiplin mendengar khutbah sampai selesai sebelum beranjak pulang.
Ya, sudahlah. Tiap tempat memiliki budaya sendiri-sendiri.
Hari itu, sebenarnya Zidan juga berulang tahun. Jadinya setelah shalat ied kita ambil kue tart pesaan. Sebenarnya kita kesulitan pesan roti tart. Banyak toko tidak mau menerima pesanan, karena pegawai libur. Tapi untunglah kita masih bisa menemukan toko yang mau, meski kita harus mengambil di rumahnya.
Kita sebenarnya tidak pernah ada budaya untuk memperingati ulang tahun. Biasanya kita cuma beli roti tart kecil, yang ready di toko harganya 15 ribuan. Terus paginya, setelah bangun tidur, kita berdoa sebelum tiup lilinnya. Hanya itu. Tentu saja yang ikut cuma berempat plus mbaknya anak-anak.
Kalau sekarang kita sampai pesan roti tart, ini karena sekalian bisa dimakan oleh semua kerabat. Sayangnya kita kemarin tidak jadi pergi ke kawah gunung Kelud. Kalau jadi, hal ini akan melengkapi serunya perjalanan kita ke Pare.
~~~
*Mochamad Yusuf adalah konsultan digital marketing, pembicara publik, youtuber, pengajar sekaligus praktisi TI. Aktif menulis dan buku best sellernya, “99 Jurus Sukses Mengembangkan Bisnis Lewat Internet”. Anda dapat mengikuti aktivitasnya di websitenya http://enerlife.id atau di Facebooknya, http://facebook.com/enerlife .