Dulu di masa Orde Baru ada Menteri Agama yang menggulirkan ide ‘reaktualisasi’ Al Qur’an. Maksudnya aturan di Al Qur’an disesuaikan dengan kondisi sekarang. Misal jatah warisan seorang anak laki di Al Qur’an adalah 2 bagian. Lalu direaktualisasi menjadi 1 bagian. Sama dengan anak perempuan.
Pertimbangannya beberapa daerah, seperti asal menteri agama ini, budaya yang bekerja adalah istri. Sedangkan suami di rumah saja. Maka menurut beliau aturan Al Qur’an tak relevan.
Tentu saja ide ini tak sejalan dengan maksud Allah. Allah menurunkan Al Qur’an secara sempurna. Paripurna. Kebenarannya adalah mutlak. Tak perlu ragu pada Al Qur’an. “Kitab (Alquran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa,” QS 2:2
Manusia memang sering merasa ‘lancang’ karena kesombongan ilmunya. Merasa perlu merevisi aturan Allah & Rasulullah. Padahal aturan Rasulullah pun dibuat berdasar perintah Allah.
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya, dan bertakwalah kepada Allah. .. Janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap yang lain, nanti (pahala) segala amalmu bisa terhapus sedangkan kamu tidak menyadari.” QS 49:1-2
Ayat ini tetap relevan meski Rasulullah sudah wafat. Perintah jangan meninggikan suara kita melebihi suara Nabi tetap bisa menjadi pedoman untuk sekarang. Dan ancamannya berat. Amal kita bisa sia-sia.
Bagaimana etika terhadap Rasulullah sekarang, padahal beliau sudah wafat?
Mari simak paparan yang diutarakan dengan apik oleh Ustadz Prof Dr. ROEM ROWI MA, guru besar Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya lulusan Gontor yang juga kini dosen tetap Universitas Darussalam Gontor. Sebuah kajian dengan berdalil Al Qur’an yang sangat berisi dan diselingi humor serta sentilan sosial politik aktual di sini.
Semoga kita selalu taat pada perintah dan larangan Allah di Al Qur’an ya, Ust. Terima kasih atas ilmunya.