Oleh: Mochamad Yusuf*
Pada 1999 saya ke Bandung. Saya tinggal di sebuah perumahan. Tepatnya di jalan Batik Pekalongan. Ini adalah rumah yang dikontrak alumni SMAN 5 Surabaya yang kuliah di ITB. Saya minta ijin tinggal di sini pada salah satu penghuninya yang merupakan teman akrab.
Saya memang harus ke Bandung, tapi tidak ada kerabat yang tinggal di Bandung. Maka menginap di rumah kontrakan teman-teman ITB adalah solusinya. Jelas saya tidak berpikir untuk tinggal di hotel. Tidak mampu meski kelas melati sekalipun. Hehehe.
Tujuan saya ke Bandung itu adalah melepaskan dahaga saya tentang kerinduan berkuliah di ITB. Sejak kecil saya bercita-cita kuliah di ITB. Saat saya gagal mewujudkan cita-cita ini, maka untuk melupakan ITB ini saya harus ke ITB.
Maka kerjaan saya selama ‘liburan’ di Bandung ini adalah ke ITB. Saya pinjam sepeda angin seorang teman penghuni rumah Batik Pekalongan dan mengayuhnya ke ITB. Saya tidak tahu berapa persis jaraknya. Saya juga lupa berapa lama saya menempuhnya dari rumah ke kampus ITB tersebut.
Tiba di sana, saya akan mengelilingi semua bangunan di kampus ITB. Semua bagunan fakultas di kampus itu saya datangi. Bahkan kalau memungkinkan saya masuk ke kelas atau ruangannya. Saya juga mendatangi gedung sekretariat unit kegiatan mahasiswa. Dan tak ketinggalan pula mendatangi masjid kampus, Salman yang sangat terkenal itu. Termasuk juga sekretariat/kantor yang ada di lingkungan masjid.
Bila sudah puas mengelilingi kampus, saya teruskan dengan berkeliling kota. Besoknya demikian juga. Pagi berkeliling kampus dan dilanjutkan keliling kota.
Dengan bekal peta yang saya pinjam dari salah satu penghuni rumah, saya berani bersepeda ria mengelilingi Bandung. Seingat saya awal-awal hari tujuannya adalah tempat-tempat wisata dekat kampus ITB seperti kebun binatang. Lalu kantor gubernur, gedung Sate yang terkenal itu. Juga museum-museum seperti museum Perangko, museum Biologi dan lainnya.
Hari-hari terakhir berkeliling menuju tempat-tempat bersejarah dekat alun-alun seperti gedung Asia Afrika, masjid agung dan pasar. Saya lupa apa nama pasarnya (pasar Baru?). Yang jelas saya senang di pasar ini karena di salah satu bagian ada penjual buku dan majalah bekas luar negeri. Kondisi majalahnya masih bagus. Saya sempat membeli beberapa majalah.
Hari-hari terakhir liburan saya memberanikan melangkah lebih jauh lagi, yakni lanud Sastranegara yang ternyata berdampingan dengan pabrik IPTN (dulu bernama Nurtanio yang sekarang jadi PT DI).
Di luar itu saya asal saja bersepeda. Tidak jelas tujuannya. Yang penting keliling kota. Benar-benar petualangan. Hehehe.
Tapi meski begitu seingat saya tidak bersepeda ria ke arah Lembang (Bandung utara yang berbukit-bukit itu) seperti ke kampus IKIP (sekarang UPI). Entah kenapa saya tidak melakukannya. Apa karena sudah diantar teman sebelumnya dengan naik sepeda motor yang barengan melihat kampus Unpad di jalan Dipati Ukur. Atau saya sudah tahu jalannya mendaki sehingga berat kalau bersepeda.
Waktu itu kondisi lalu lintas tidak macet. Pohon dan tanaman juga banyak. Cuacanya juga cukup sejuk. Jadi meski bersepeda jauh dan di siang hari, enak saja. Tetap nyaman.
Tapi berbeda dengan liburan akhir tahun 2013 lalu saat saya ke Bandung. Karena berangkat bareng keluarga, saya tidak mau berpetualangan sendiri. Alias jalan-jalan sendiri. Maka saya, istri dan Zelda (anak saya yang terakhir) naik sepeda motor. Tujuan utamanya adalah ke pasar Baru.
Sebelum berangkat saya bermaksud pinjam peta. Ternyata tidak ada. Namun berkat petunjuk yang jelas dan sederhana, sehingga saya berani saja berangkat ke pasar Baru. Start dari rumah di perumahan Margahayu di kawasan jalan Soekarno Hatta ke pasar Baru, kita hanya menempuh selama sejam-an.
Yang jadi masalah saat pulangnya. Jalan banyak yang satu arah sehingga tidak memungkinkan saya kembali ke rumah dengan rute yang sama. Jadinya mutar-mutar. Akhirnya nyerah dan mulailah ‘berani bertanya agar tidak tersesat di jalan’. Eh, ternyata merasakan betul bagaimana macetnya kondisi jalan di Bandung. Meski saya hidup sejak kecil di Surabaya, kota yang lebih besar daripada Bandung, saya merakan macetnya Bandung ini lebih parah.
Saya bayangkan bagaimana seandainya saya bersepeda berkeliling Bandung sekarang. Pasti tidak sanggup. Karena bikin capek dan stress. Untungnya saya punya pengalaman manis keliling Bandung dulu saat masih nyaman, saat masih kuliah. Hehehe. [TSA, 2/1/2014]
<strong><a href="http://kampunginggris.co/holiday/">Untuk mencari paket holiday programs yang menarik dapat melihat menu holiday programs di website ini.</a></strong>
*Mochamad Yusuf adalah online analyst, konsultan tentang ‘online communication’, pembicara publik tentang IT, host radio, pengajar sekaligus praktisi IT. Aktif menulis dan beberapa bukunya telah terbit. Yang terbaru, “Jurus Sakti Memberangus Virus Pada Komputer, Handphone & PDA”. Anda dapat mengikuti aktivitasnya di personal websitenya, http://yusuf.web.id atau di Facebooknya, http://facebook.com/mcd.yusuf.
@Brahm
Asyiik… seperti kamu ya?
Keliling Bandung lebih enak naik angkot. Tapi yang paling enak ya kalau ada yang memandu ke sana-sini, hehehe….