Contact us now
+6289-774455-70

Tidak Ingin Naik Haji

Sebagai kaum muslim tentu saja saya harus menjalankan semua ibadah, khususnya yang wajib. Tapi tidak untuk ibadah haji. Terbayang biaya yang harus dilakukan. Apalagi nanti kalau 2 orang. Benarkah?

Oleh: Mochamad Yusuf*

Hari-hari ini waktu larut sekitar jam 11-12 malam atau bahkan pagi sekali jam 2-3, sering terdengar suara-suara jet yang sangat keras. Tidak biasanya sih. Karena yang biasa lewat memang pesawat sedang seperti Boeing 737 atau MD 11. Sedang yang ini adalah pesawat super jumbo Boeing 747.

Rumah saya memang masih jauh dengan bandara. Namun rute pesawat mendarat melewati perumahan sebelah yang dekatnya sekitar 300 meter dari rumah saya. Bahkan sering pula lewat di atas perumahan saya.

Rute pesawat mendarat, ya karena kalau ditarik garis lurus akan sampai ke landasan. Di sini pesawat sudah menurunkan pesawatnya dan mengeluarkan rodanya. Dari daratan logo pesawat sudah tampak. Juga jendela pesawat. Saya yakin kalau memakai alat teropong saya bisa melihat wajah pilotnya! (Kalau saya dari jakarta, saya selalu minta duduk di sebelah kanan. Karena hanya dengan mata telanjang saya bisa melihat rumah bahkan poskamling dekat rumah!).

Pesawat yang tidak biasanya ini adalah pesawat Saudi Airlines yang berwarna coklat tanah. Dengan logo 2 pedang yang bersilangan di atas apa ya,.. saya lupa. Rasanya pohon kurma. Ini adalah pesawat yang disewa pemerintah RI untuk mengantar jemput para jamaah haji.

Pesawat yang sangat besar. Sekali terbang bisa membawa sekitar 400 orang. Ini sama dengan jumlah penumpang 13 bis eksekutif. Karenanya perlu 4 mesin yang kuat untuk dapat menerbangkannya. Sehingga suara jetnya sangat keras. Melihatnya terbang rendah terasa sangat indah.

Dan kalau sudah terlihat pesawat ini berarti musim haji sudah tiba.

Meski begitu saya tak terbersit niatan untuk pergi naik haji. “Lho bukankah itu wajib?” kata orang. “Lho bukankah itu tidak wajib kalau tidak mampu?” kata saya.

Cukup besar biaya naik haji. Tahun ini sekitar 30 juta. Ditambah biaya lain-lain, uang saku dan oleh-oleh mungkin total sekitar 40 juta. Kalau 2 orang, dengan istri, jadi 80 juta. Wow! Uang yang cukup banyak. Uang segitu bisa saya jadikan uang muka untuk beli rumah. “Lho bukankah kamu sudah punya rumah?” tanya orang. Memang, tapi kan bisa saya gunakan untuk tabungan. Untuk pendidikan anak-anak atau untuk persiapan masa tua.

Dan Rasulullah SAW sendiri dalam hidupnya hanya naik haji sekali. Padahal jaraknya cukup dekat. Dan saya yakin cintanya Rasulullah ke Mekkah sangat besar. Kenapa kok sekali ? Saya kira karena sudah cukup menjalankan kewajiban. Tidak perlu berkali-kali.

Lha kita di Indonesia? Masih ribuan kilometer jaraknya. Tidak ada keterkaitan Mekkah dengan saya seperti Rasulullah yang dilahirkan di sana.

Dan biaya 80 juta adalah biaya yang kita keluarkan untuk kita ke sana. Seharusnya juga disiapkan biaya untuk anak-anak kita, bilamana ada apa-apa dengan kita. Dan kita tidak boleh ada hutang yang nantinya memberatkan anak-anak kita (saya masih punya hutang kredit rumah).

Dan yang terpenting itu semua. Sebelum menjalankan ibadah haji yang besar, berat, mahal dan kelihatan jelas itu, saya ingin menjalankan ibadah-ibadah lain dengan sempurna dulu. Ibadah-ibadah yang kelihatan kecil, remeh, tidak kelihatan dan tidak berbiaya. Namun nilainya juga sama besarnya.

Bagi saya Islam adalah agama kesempurnaan. Agama yang mengatur segala sendi kehidupan. Agama yang menyuruh berbuat baik kepada Allah juga manusia. Agama yang memberi pedoman untuk berbuat dunia baik kegiatan duniawi atau kegiatan rohani.

Saya tak mau, kalau naik haji ini sekedar kita menggugurkan kewajiban kita. Kalau shalat tak ada yang dirugikan. Tapi haji adalah kerugian yang besar bagi saya, kalau hal itu saya lakukan.

Saya tak mau haji namun kegiatan di dunia saya masih compang camping. Saya masih suka berbohong. Saya masih suka korupsi. Saya masih suka menjelek-jelekkan dan membuat luka di hati orang-orang lain. Saya masih suka egois dengan diri sendiri. Dan lainnya.

Saya ingin haji adalah puncak kesempurnaan dari semua ibadah yang saya lakukan.

Jangan sampai naik haji tapi masih korupsi. Jangan sampai naik haji tapi timbangannya tidak benar. Jangan sampai naik haji tapi sama tetangga tidak baik. Jangan sampai naik haji tapi kehadirannya bikin orang lain bete. Jangan sampai naik haji namun sama suami/istri tidak taat. Jangan sampai naik haji tapi sama anak tidak perhatian dan sayang sama pendidikan agamanya.

Karena bagi saya ibadah adalah untuk Allah dan juga untuk manusia. Bahkan bagi saya justru lebih berat kepada manusia daripada kepada Allah. Allah Maha Pengampun. Allah ada di mana-mana, di setiap waktu. Bila saya bersalah pada Allah (pasti), saya masih bisa minta kemurahanNya, kasih dan sayangNya untuk memaafkan saya. Namun kalau dengan manusia, apakah saya masih bisa minta maaf padanya? Orangnya mungkin sudah ke mana, kita tak tahu. Atau kalau kita bisa ketemu lagi sama dia, apakah kita masih dimaafkannya?

Saya tak mau jadi orang rugi. Di mana nanti di akhirat membawa pahala ibadah shalat, puasa, zakat dan haji namun karena melukai orang lain pahalanya diberikan ke orang lain. Bahkan akhirnya dosanya diberikan ke mereka karena pahalanya sudah habis. Dia yang sebenarnya masuk surga, namun menjadi masuk neraka.

Dalam buku ‘Riadhus Shalihin’ diceritakan seorang pelacur Yahudi yang kehausan di padang gersang. Suatu ketika dia menemukan sumur yang dalam. Airnya hanya sedikit di dasar sumur. Susah payah dia naik dan turun untuk minum. Namun dia tak tega meluhat seekor anjing yang juga kehausan. Dia lakukan naik dan turun sumur sambil menggigit sepatu yang berisi air yang diciduknya untuk diberikan kepada anjing. Usahanya ini berganjar surga!

Bayangkan dia hanyalah pelacur! Orang yang bergelimang dosa. Dan yang dibantu hanyalah anjing! Seekor binatang yang hina. Namun Allah tak melihat itu. Namun Allah melihat kasih dan sayangnya pelacur ke anjing itu.

Lha kalau kita kasih dan sayang kepada manusia? Bagaimana kalau kita lakukan kepada manusia lain? Saya yakin pahalanya malah surga yang berlipat-lipat.

Jangan sampai haji, namun tetangga masih kelaparan (“Apa urusan kita, bukankah itu urusannya,” kata yang naik haji). Jangan sampai naik haji, namun di kantor masih suka disogok (“Lho kan tidak ada hubungannya dengan ibadah?” kata yang naik haji). Jangan sampai naik haji, tapi menipu dalam perdagangan. Timbangannya diberati (“Lha kalau nggak begini, kapan saya naik haji yang ke-3?” kata yang naik haji).

Saya ingin menyempurnakan ibadah-ibadah saya yang seperti itu.

Sesuatu yang kelihatan remeh, kecil, tidak kelihatan, gratis bahkan tidak mengeluarkan keringat sama sekali. Misal: setiap ketemu orang saya senyum. Selalu menyapa baik kepada yang muda, tua, kaya ataupun miskin. Perhatian pada orang lain. Turun dari kendaraan ketika melihat di jalan ada kotoran atau batu yang mungkin membahayakan bagi yang lain. Melakukan kunjungan silaturahmi untuk menanyakan kabar, siapa tahu kita bisa saling menolong.

Berbakti kepada orang tua. Tidak sekedar telpon atau bahkan sms menanyakan kabarnya. Namun hadir sambil ngobrol-ngobrol ringan. Syukur-syukur membawa buah tangan atau uang. Ataupun apapun yang bisa kita berikan. Jangan sampai kita kaya, dan kita sudah puas dengan memberi uang bahkan menaikkan haji. Namun kita jarang berbuat kasih dan sayang pada mereka.

“Lha rumah saya jauh eh dari orang tua?” kata orang, “Bisa capek saya.” Tapi orang tua tidak pernah mengeluh betapa capeknya dulu membesarkan kita. Jadi selalu menomorsatukan orang tua.

Demikian juga pada anak. Kita sudah cukup menyekolahkan ke sekolah Islam yang bagus nan mahal. Dan kita lupa untuk memberikan perhatian dan kasih sayang padaNya. Lupa untuk diajak berkomunikasi. Segan untuk bermain bersama. Malas untuk memberi contoh yang baik. Mau enaknya sendiri. Bikin aturan, namun hanya berlaku pada anak kita. Kita marah pada anak kita yang mencuri, namun kita diam saja mencuri uang rakyat.

Setiap kehadiran saya selalu membawa kebergunaan bagi sekitar. Setiap kehadiran saya selalu membawa keceriaan bagi sekitar. Setiap kehadiran saya selalu bisa membantu bagi sekitar.

Saya ingin juga menyempurnakan dulu ibadah-ibadah wajib lain. Shalat 5 kali. Tidak ada yang bolong. Puasa sunnah minimal 3 hari sebulan. Shalat malam. Shalat dhuha. Zakat dari harta yang halal. Dan lainnya.

Saya ingin menyempurnakan semuanya.

Untunglah naik haji sekarang selalu waiting list (alhamdulillah banyak orang Indonesia yang mampu naik haji). Daftar sekarang baru naik haji 3 tahun lagi. Dan uang saat ini saya tak punya. Tapi kalau saya menabung sen demi sen sekarang mungkin suatu waktu tercapai untuk bisa naik haji.

Selama menunggu tercapainya uang, berarti ada waktu. Dan waktu itu saya gunakan untuk menyempurnakan ibadah saya. Apalagi nanti ditambah dengan adanya waktu dalam menunggu waiting list.

Jadi kenapa sekarang tak berniat untuk naik haji? Toh saya masih punya cukup waktu untuk menyempurnakan semua ibadah itu.

Dan InsyaAllah nanti saya pergi ke bank untuk membuka rekening yang saya khususkan untuk tabungan naik haji. Mohon doa restunya sehingga bisa terlaksana niatan saya ini. (dan mulai detik ini, saya sudah tercatat mendapat pahala kan? Bukankah meski niat, tapi perbuatan baik lho, sudah dinilai sebagai pahala? He..he..)

~~~
*Mochamad Yusuf adalah konsultan digital marketing, pembicara publik, youtuber, pengajar sekaligus praktisi TI. Aktif menulis dan buku best sellernya, “99 Jurus Sukses Mengembangkan Bisnis Lewat Internet”. Anda dapat mengikuti aktivitasnya di websitenya http://enerlife.id atau di Facebooknya, http://facebook.com/enerlife .

One Comment - Leave a Comment
  • Leave a Reply