Sebenarnya resepnya juga sama. Apa yang dilakukan orang tuanya, juga mereka lakukan. Tapi tetap lambat laun menyurut sepi. Mereka heran. Padahal tempatnya tetap. Dan lokasinya sangat strategis.
Oleh: Mochamad Yusuf*
Waktu sekolah SMA dulu, saya memiliki bakso favorit. Yakni rombong depan sekolah. Yang jual namanya Pak Di. Tapi teman-teman memanggil sebagai memble. Entah kenapa dipanggil memble, padahal tak terlalu memble.
Yang saya suka adalah gorengannya. Kebanyakan bakso, gorengannya adalah tepung (seperti pangsit goreng) yang berisi kanji dan sayuran. Kalau dimakan kres-kres, seperti makan snack.
Namun gorengannya pak Di ini beda. Gorengannya terbuat dari tepung yang berisi sayur dan digoreng dalam bentuk bulatan. Seperti ote-ote, tapi tepungnya lebih sedikit. Sehingga sangat terasa sayurannya.
Sayangnya meski ini jadi favorit, saya tak bisa menikmati saban hari. Karena nggak punya uang. Sebagai anak orang miskin, saya tak dapat uang saku. Untungnya saya dapat uang honorarium dari menulis di koran dan majalah. Kalau dapat, saya syukuri dengan makan bakso ini. Hehehe.
Tentu saja tulisan saya tak selalu dimuat di media massa tiap waktu. Berarti tak sering juga makan bakso favorit ini.
Setelah kuliah saya memiliki uang. Ya, sambil kuliah saya bekerja mengajar privat. Meski tak banyak hasilnya, tapi saya punya uang. Karena itu saya lampiaskan ‘dendam’ SMA ini dengan beli bakso favorit dulu.
Untunglah rombong pak Di ini masih ada. Saya puaskan makan bakso. Bahkan saya tambah khusus beberapa gorengannya. Setelah itu bahkan sampai lulus dan kerja, saya masih sempatkan makan baksonya pak Di.
Sekarang sudah bukan di depan sekolah, tapi sudah masuk sekolah. Jadi saya juga harus masuk sekolah. Hampir tiap bulan saya ke sana.
Meski gorengannya tetap, tapi entah bagi saya sudah agak beda rasanya dengan dulu waktu SMA. Tapi saya yakin, resep pak Di tetap. Mungkin yang beda adalah lidah saya. Saya sudah merasakan makanan yang lebih lezat. Jadi baksonya pak Di sudah bukan terlezat lagi di benak saya.
Untunglah karena baksonya di dalam kompleks sekolah, maka dia sudah punya pembeli. Cuma karena yang jual banyak, maka persaingannya sangat ketat. Dibanding waktu saya sekolah dulu, keramaiannya ini sudah berkurang. Tapi jaman mungkin sudah berubah. Bakso mungkin sudah bukan favorit anak sekolah lagi. Entahlah.
Juga waktu sekolah SMA itu saya selalu lewat sebuah restoran yang ramai. Tempatnya di pojokan antara jalan Sulawesi dan Biliton. Orang-orang menamakan sebagai warung ijo. Karena pagar, pintu dan lainnya dicat hijau. Restoran ini menjual soto ayam.
Restorannya selalu ramai. Parkir mobil dan motor didepannya sangat banyak. Setiap lewat restoran ini saya selalu bilang dalam hati, “Kapan ya saya bisa mampir dan makan di sini?”. Ya, karena sebagai anak orang miskin tak berani masuk. Bahkan setelah punya uang waktu kuliahpun, saya tak berani juga masuk.
Namun setelah lulus dan bekerja, ternyata restoran ini mulai menyurut sepi. Memang sejak lulus SMA dan lalu bekerja, rute saya tak melewati restoran ini. Jadi waktu ingin ke sana lho kok sepi, jadi agak takut juga ke sana. Jangan-jangan yang jual bukan orang yang sama, meski sebenarnya tetap sama jual soto ayam.
Ternyata saya punya teman yang masih saudara dengan warung hijau ini. Darinya saya dapat informasi bahwa sebenarnya penjual aslinya sudah meninggal. Sekarang yang jual adalah anak-anaknya.
Dia juga mengatakan sebenarnya resepnya juga sama. Apa yang dilakukan orang tuanya, juga mereka lakukan. Tapi tetap, lambat laun menyurut sepi. Mereka heran. Padahal tempatnya tetap. Dan lokasinya sangat strategis, karena jalan Sulawesi ini adalah jalan yang ramai di Surabaya.
Kelak akhirnya warung hijau ini menutup jualan soto ayamnya. Lalu berjual makanan khas timur tengah seperti gule kambing, rawon ampel, nasi kebuli dan lainnya. Sempat ramai, tapi sepi lagi. Sekarang saya tak ingat, jualan apa sekarang. Apa masih tetap jualan makanan timur tengah atau yang lain. Atau malah tutup. Yang jelas, saya belum pernah sekalipun mencicipi soto ayam yang dijual warung hijau ini.
Ya, tentu saja ini jadi misteri bagi pengelola warung hijau ini. Kenapa warungnya jadi sepi, padahal semuanya tetap. Bahkan pesaingpun di jalan itu tak ada. Ini menjadi rahasia rejeki yang lain. [TSA, 15/02/2011]
*Mochamad Yusuf adalah online analyst, pembicara publik, host radio, pengajar sekaligus praktisi TI di SAM Design. Aktif menulis dan beberapa bukunya telah terbit. Yang terbaru, “Jurus Sakti Memberangus Virus Pada Komputer, Handphone & PDA”. Anda dapat mengikuti aktivitasnya di personal websitenya atau di Facebooknya.
Wah dulu waktu SD sering makan soto disini kalau pas ikut ke kantor Ibu saya di jalan Sulawesi. Sekarang sudah gaada. Kangen juga sih. Kira2 sekarang masih jualan dimana ya? Hmmm
Rezeki memang sudah ditentukan. Tapi kita sebagai manusia wajib untuk berusaha. Dan saya yakin ketetapan rezeki itu bisa kita rubah, asal kita mau berusaha. Oh iya saya ada referensi buku yg bagus. Coba lihat dulu reviewnya di blog saya.
@Tatik Rachmawati
Bisa jadi kalau beda orang. Tapi satu cerita itu orang yang sama kan? Tapi ini sebenarnya pelengkap dari serial nomor 1. Di serial nomor 1, itu ada 2 cerita. Keduanya sama orangnya.
kejadian tersebut persis sama buku yang saya baca mas” Public Service Communication”.
waktu restoran soto yang jual ada;ah bapaknya, restpran tersebut sangat ramai dan paling ramai dikota tersebut, namun setelah bapaknya meninggal dan digantikan anaknya restoran tersebut menyusut dan mulai kehilangan pelanggan, hingga akhirnya sekarang tutup.
ternyata, letak kegagalan bukan pada resep sotonya, melainkan PELAYANAN yang diberikan bapak dananaknya berbeda. sdi bapak orangnya sangat ramah dan selalu menyapa pengunjungnya, meski duduk sejenak dengan pelanggan. si bapak terkenal orang yang rendah hati sementara si anak kurang ramah pada pelanggan. itu prnyebab semakin sepinya restoran tersebut.
intinya komunikasi dalam pelayanan publik adalah nomor 1 dan sangat penting. semoga bermanfaat
Rejeki tiap orang emang beda-beda, walaupun satu keturunan..
@Usaha sampingan.
Dalam artikel itu ada 2 cerita. Salah satu cerita itu adalah orang yang sama.
Pingback: ..| Home of Mochamad Yusuf |..
Pingback: ..| Home of Mochamad Yusuf |..