Teman saya dokter spesialis utrologi. Istrinya, teman SMP saya, juga dokter. Waktu masih rajin main ke sana, kakaknya juga dokter yang juga suaminya dokter. Adiknya laki masuk kedokteran juga.
Oleh: Mochamad Yusuf*
Lebaran 2 tahun lalu, saya berkunjung ke rumah teman. Dia teman SMA, namun sudah lama tak pernah ketemu. Mungkin sejak lulus kuliah. Berarti itu sudah belasan tahun.
Meski sudah janjian sebelumnya, dia tak ada. Namun oleh istrinya, yang teman saya juga, disuruh menunggu. Sambil menunggu, saya lihat rumahnya. Halamannya cukup luas dan asri. Di depan terparkir beberapa mobil. Perabotannya cukup mewah. Dan makanan yang disajikan cukup beraneka.
Setelah lama menunggu, terdengar dencit rem dan suara mesin dimatikan. Saya longokkan pandangan mata saya keluar. Teman saya keluar dari mobil tergesa-gesa masuk ke dalam. Saya menyambutnya.
“Yusuf, ya ampun sudah lama kita nggak ketemu,” katanya. Ya, dulu kita bersahabat cukup erat. Saya sering main ke rumahnya, bahkan selepas SMA pun saya masih ke sana. Meski sudah beda kuliahnya.
Kita masuk ke dalam dan mulailah kita bercerita-cerita. Tiba-tiba pikiran saya melayang waktu main ke rumahnya dulu. Waktu masih bersama orang tuanya.
Rumahnya lebih besar lagi. Ada 4 rumah yang berdempetan yang jadi satu. Mungkin awalnya satu, terus membeli rumah di belakangnya, terus disampingnya dan dibelakangnya. Mungkin masih ada rumah lain di tempat lain. Entahlah. Di depan rumah induk terparkir beraneka mobil. Saya tahu rumah yang di samping juga terparkir beberapa mobil.
Rasanya pantas kalau orang tuanya bisa memiliki ini semua. Ayahnya seorang dokter forensik terkemuka. Semua kasus kejahatan besar pasti menyangkutkan namanya. Dia juga mengajar di sebuah PTN terkemuka. Di luar itu masih praktek, yang pasiennya sangat banyak.
Jadi dengan dokternya itu saya rasa ayahnya, bisa memiliki banyak rejeki. Apa jadinya kalau anak-anaknya, 4 orang, juga jadi dokter? Pasti kaya juga. Dan terbukti tetap kaya anak-anaknya, seperti teman saya yang juga jadi dokter.
Teman saya dokter spesialis utrologi. Istrinya juga dokter. Waktu masih rajin main ke sana, kakaknya juga dokter yang juga suaminya dokter. Adiknya laki masuk kedokteran juga. Adiknya terakhir, perempuan, masih duduk di bangku SMP waktu itu. Tak tahu sekarang apakah adik perempuan dan isri adik lakinya juga dokter.
Dari anak kaya, tetap jadi anak kaya.
Pikiran saya merawang ke teman SMA lain. Adik kelas yang saya kenal waktu aktif di kegiatan jurnalistik sekolah. Anaknya pintar dan kreatif. Sayangnya ayahnya sudah meninggal. Ibunya janda tidak memiliki pekerjaan.
Namun karena kepintarannya, dia tetap berhasil masuk kedokteran negeri. Namun hanya bertahan setahun-dua tahun, lalu drop out. Waktu main terakhir ke sana, dia jadi salesman obat. Sayang. Saya membayangkan bagaimana kalau teman saya ini akhirnya jadi dokter. Lalu menikah dengan dokter. Mungkin bisa kaya nanti.
Tentu teman dokter dan teman salesman tidak bisa memilih orang tua. Dan kalau misalnya keberhasilan menjadi dokter karena kemampuannya, tidaklah benar. Contoh kakak teman dokter saya itu, sebenarnya tidak berhasil masuk kedokteran negeri. Tapi karena kaya, dia disekolahkan kedokteran swasta. Meski mahal, ayahnya yang dokter masih mampu membiayai. Lha teman saya yang masuk kedokteran negeri itu, tapi gagal menyelesaikan karena tak punya dana.
Jadi, kadang keberhasilan dan kesuksesan tak semata karena kemampuan anda. Namun bisa jadi itu karena rejeki yang anda peroleh. Janganlah sombong dengan kesuksesan itu semua. Mungkin kekayaan yang anda miliki, sebenarnya titipan untuk orang lain yang kekurangan. [TSA, 13/10/2010 subuh]
~~~
*Mochamad Yusuf adalah online analyst, pembicara publik, host radio, pengajar sekaligus praktisi TI. Aktif menulis dan beberapa bukunya telah terbit. Yang terbaru, “Jurus Sakti Memberangus Virus Pada Komputer, Handphone & PDA”. Anda dapat mengikuti aktivitasnya di personal websitenya atau di Facebooknya.
Kadang memang sepertinya Tuhan tak adil…