Ternyata permasalahan tak hanya menimpa anak lakinya, tapi adiknya. Anak perempuannya minggat bersama pacarnya, karena bertengkar dengan ibunya. Gara-gara dilarang pacaran dengan seorang pemuda.
Oleh: Mochamad Yusuf*
Di dalam mobil saya ikutan stres juga. Teman semobil sejak bertemu sampai sekarang mengeluh terus. Kita dalam perjalanan ke seorang donatur, teman juga. Kita adalah panitia reuni, yakni koordinator angkatan. Beberapa saat lagi akan ada seminar, dan kita meminta sumbangan untuk penyelenggaraan reuni ini. Saya dan teman semobil ini bertugas mengumpulkan sumbangan teman-teman seangkatan.
“Pusing, pusing aku,” katanya, “Si Watie minta uang untuk beli buku. Terus adiknya minta uang juga untuk ikut kegiatan di Pacet. Memangnya saya banyak uang. Belum atap rumah bocor. Kalau hujan seperti ini, sumpek juga setiap pagi kalau sehabis hujan harus mengepel. Ingin rasanya pindah ke rumah Galaxy.”
“Ya, pindah saja, “kata saya asal-asalan. “Kamu ngelindur ta? Berapa harganya di sana? Rumahku dijual hanya bisa membeli kamar mandinya,” dia kesal dengan komentar saya. Dan jadinya semakin banyak keluhannya.
“Terus apa inginmu?” saya potong keluhannya. Lama-lama juga mual mendengarkan keluhannya. “Penghasilan yang cukup sehingga bisa beli ini itu, rumah yang nyaman dan punya mobil kayak kamu ini,” sepertinya dia senang dengan pertanyaan saya ini. Mungkin ini yang ingin disampaikan.
“Bukankah kamu yang sudah cukup saya lihat? Meski rumahmu tak seperti di Galaxy, tapi rumahmu masih di kompleks perumahan? Kamu masih bisa menyekolahkan anak-anakmu di sekolah Islam Terpadu?” saya bertanya. Sebenarnya ini bukan bertanya, tapi pernyataan.
Saya tahu sekolah seperti itu tak murah. Minimal lebih mahal dibanding sekolah negeri. Kalau dia bisa menyekolahkan ke sana, berarti sebenarnya cukup. Meski tak berlebihan juga.
“Kamu seharusnya bersyukur. Banyak orang yang mungkin tak semujur kamu. Kalau kita melihat kekurangan materi kita, pasti tak akan habisnya,” kata saya. “Ah itu klise. Coba saja kamu kalau ada di posisiku. Kamu pasti akan mengatakan demikian,” jawabnya.
Saya diam. Ya, mungkin saja. Karena saya tak di posisinya sekarang, saya bisa mudah mengatakan untuk bersyukur. Saya tak mau mendebat. Dan mulailah dia mengeluh ini itu.
Akhirnya kita sampai ke rumah teman donatur. Rumahnya memang tidak di kompleks Galaxy. Tapi saya kira agak di bawah sedikit elitnya. Garasi tampak lebar, dan terlihat beberapa mobil terparkir. Halamannya cukup luas dan asri. Di dalamnya juga mewah.
Teman saya melihat ini terkagum dan menjawil saya, “Ini Suf, impianku. Aku ingin ini. Hehehe,” katanya senang.
Kita menunggu di kamar tamu. Namun sampai kita sudah puas melihat apa saja di dalam ruang itu, belum keluar juga teman kita. Kita coba melongokkan ke arah lebih dalam. Di tengah rumah seperti ruang keluarga. Lebih mewah lagi. Tampak TV LCD yang besar. Di depannya sofa yang pasti mahal juga.
Saya mulai bosan dan ingin memutuskan untuk pulang saja. Tiba-tiba teman donatur ini datang dari pintu keluar. Ternyata dia tidak ada di rumah. Mungkin pembantunya diberitahu untuk menyilakan masuk dan menunggu di rumah, karena kita sudah janjian.
“Maaf, teman-teman. Saya dapat musibah. Pusing-pusing,” katanya setelah kita bersalam-salaman. Meski kita tak terlalu akrab, kita dulu berteman waktu sekolah.
“Ada apa?” saya memberanikan diri bertanya. Saya melakukan ini karena sepertinya ada celah untuk melontarkan pertanyaan ini.
Mulailah dia bercerita tentang permasalahannya. Ternyata dia barusan dari kantor polisi. Anak lakinya ditangkap polisi karena kedapatan memakai narkoba. Ini sebenarnya bukan pertama kali. Ini sudah kesekian.
Dan ketika saya korek-korek lain, ternyata permasalahan tak hanya menimpa anak lakinya, tapi adiknya anak perempuan. Anak perempuannya minggat, karena bertengkar dengan ibunya. Gara-gara dilarang pacaran dengan seorang pemuda. Mungkin dia sekarang minggat dengan pacarnya. Istrinya sekarang lagi mencarinya.
Mendengar cerita permasalahan anaknya yang beragam dan berat itu, kita berdua diam. Dalam hati kita bersyukur, meski kita tak kaya, namun anak-anak kita tak membuat masalah.
Ternyata kita menyadari rejeki lain yang kita lupakan: anak. Anak-anak kita tak membuat masalah. Bahkan anak-anak teman semobil ini banyak prestasinya. Dia sering dibuat bangga oleh mereka.
Dalam mobil perjalanan pulang, kita tertawa. “Bagaimana? Mau ganti posisi dengannya?” saya bercanda. “Nggak-nggak. Saya tak sanggup di posisinya. Mending begini saja. Toh anak-anak masih bisa saya atur,” katanya senang. Dalam perjalanan pulang itu topik pembicaraannya berubah, dia dengan senang menceritakan kisah dan prestasi anak-anaknya.
Saya terdiam dan bersyukur mendapat sebuah rahasia rejeki lain. [TSA, 26/10/2010 subuh]
~~~
*Mochamad Yusuf adalah online analyst, pembicara publik, host radio, pengajar sekaligus praktisi TI. Aktif menulis dan beberapa bukunya telah terbit. Yang terbaru, “Jurus Sakti Memberangus Virus Pada Komputer, Handphone & PDA”. Anda dapat mengikuti aktivitasnya di personal websitenya, http:// yusuf.web.id atau di Facebooknya, http:// facebook.com/mcd.yusuf .