Oleh: Mochamad Yusuf*
Pada suatu hari Nabi Muhammad SAW berkunjung ke sebuah kampung. Tujuannya adalah berdakwah. Mengajak warga kampung kembali ke Tuhan yang sejati, Allah. Menuntun mereka ke jalan yang terang. Membuat mereka bahagia daripada terus menderita. Mengembalikan ke jalan yang lurus, yang membuat mereka senang, gembira, terbebas dari segala derita dunia.
Tujuannya sungguh baik. Tapi alih-alih warga kampung ini mengucapkan terima kasih atas ajakan beliau, mereka malah marah. Mereka mencaci-maki beliau. Meludahi, melempari batu, kotoran dan bahkan ada yang memukulnya. Yang jelas sebuah balasan yang sangat menyakitkan.
Dengan sedih, putus asa dan segala perasaan yang tidak enak di hati, Nabi Muhammad SAW meninggalkan kampung itu. Agak jauh di luar kampung, dia duduk dan bersandar di sebuah pohon kurma.
Dia mulai menangis. Sedih karena berbagai hal. Sedih karena misinya tidak terlaksana. Sedih karena tanggapan yang tidak baik. Sedih karena mereka tetap ingin dinaungi kegelapan.
Kesedihan seperti ini dilihat Allah SWT. Dia mengirim malaikat Jibril. Jibril datang menenangkan beliau, dan berkata apakah perlu kampung itu dimusnahkan saja. Malaikat Jibril juga memberitahu bahwa gunung-gunung, angin dan semua alam sudah siap dengan perintah Nabi Muhammad SAW. Bahkan gunung dengan geram berkata dia siap menimpakan tubuhnya ke kampung itu.
Kalau manusia biasa, tentu ini kesempatan balas dendam. Bagaimana tidak? Kalau tadi beliau dianiaya sampai harus menderita begitu. Sekarang beliau dapat membalas balik dengan menimpakan azab pada warga kampung tersebut.
Tapi Nabi Muhammad SAW bukanlah manusia biasa. Beliau adalah manusia berakhlak mulia. Beliau malah menahan malaikat Jibril dan makhluk alam lain yang sudah tidak tahan mau menimpakan azabnya ke warga kampung.
Beliau berkata, “Jangan. Mereka bukannnya tidak mau tertarik dengan dakwah saya. Tapi mereka mungkin tidak tahu, bahwa yang saya sampaikan itu adalah kebenaran. Karena itu daripada memberi azab ke mereka, lebih baik bantu saya berdoa ke Alah SWT agar mereka diberi pengetahuan dan hidayah, sehingga hati mereka terbuka. Mereka jadi tahu, bahwa apa yang dilakukan sekarang adalah salah. Dan ajakan saya adalah benar. Semoga di lain kesempatan mereka sadar dan bertobat. Dan mau kembali ke jalan yang benar.”
Cerita ini sungguh membuat saya sadar. Bahwa kalau kita tidak mau terbuka baik pikiran dan hati, kita tidak bisa menerima kebenaran yang disampaikan orang lain. Kita teguh pada pendirian dan pemikiran kita sendiri, yang belum tentu benar.
Karena itu saya suka dengan doa yang meminta pada Allah SWT agar tidak menjadikan hati kita seperti batu. Kalau sudah batu, tentu saja dia keras. Dibentuk apapun tidak bisa. Tidak punya telinga, sehingga tidak mau mendengarkan. Batu lebih keras daripada tembok. Padahal tembok ini ada ungkapan seperti bicara dengan tembok. Artinya sia-sia. Apalagi bicara pada batu.
Semoga hati kita bukan tembok apalagi batu yang keras dan tidak mau mendengar. Amin. [PR, 27/11/2012]
~~~
Kubah adalah Kuliah Bekal Hidup. Tulisan di serial Kubah ini mencoba mencari hikmah dari semua kejadian yang terjadi di alam. Semoga dengan hikmah ini kita dapat hidup bahagia di dunia dan mulia di akhirat. Artikel lain bisa Anda baca di serial ‘Kuliah Bekal Hidup, http://www.enerlife.web.id/category/kubah/’ lainnya.
~~~
*Mochamad Yusuf adalah online analyst, konsultan tentang online communication, pembicara publik tentang TI, host radio, pengajar sekaligus praktisi TI. Aktif menulis dan beberapa bukunya telah terbit. Yang terbaru, “Jurus Sakti Memberangus Virus Pada Komputer, Handphone & PDA”. Anda dapat mengikuti aktivitasnya di personal websitenya, http://yusuf.web.id atau di Facebooknya, http://facebook.com/mcd.yusuf .
Pingback: Kubah [4]: Apakah Alam Bisa Bergerak di Luar Kebiasaannya? | Enerlife
Pingback: Cerita ini sungguh membuat saya sadar. B « ..| Home of Mochamad Yusuf |..