Bisa jadi kita benci dengan pekerjaan kita sekarang, tapi ke depan itu baik bagi kita. Kita bisa lebih terangkat potensi kita, lebih kaya dan lebih sesuai dengan keadaan kita. Dan bisa jadi kita suka dengan pekerjaan ini, di perusahaan ini, tapi ke depan memberi hasil buruk kepada kita.
Suatu ketika saya bertemu teman sekolah. Seorang teman yang cukup akrab, sehingga sejak lulus kita tetap bertemu dan kontak. Jadi masih dapat saling mengetahui kabar masing-masing.
“Apa kabar? Masih macet kalau ke kantor?” tanya saya. Posisi kantornya ada di sebuah jalan protokol yang ramai. Sehingga sering macet.
“Nggak. Saya sudah tidak di situ lagi,” jawabnya.
“Lho, pindah kantor lagi?” saya kaget. Karena dia memang sering pindah kantor. “Bukankah kamu masih baru. Baru beberapa bulan,” tanya saya lebih lanjut.
“Ya, bagaimana lagi. Saya tidak cocok dengan aturan di sana. Lagian teman-teman di sana kurang asyik,” jelasnya. Yang mengejutkan lagi, dia berkata, “Kamu tahu ada lowongan?”
“Ha! Kamu sekarang juga nggak krasan di sana? Kamu itu lho sering pindah-pindah kantor. Kadang beberapa bulan. Paling lama setahun ya?”
“Ya sih… Tapi ada yang 2 tahun. Itu yang paling lama, ” sergahnya. Dan mulailah dia menjelaskan kenapa dia tidak krasan di kantor-kantor sebelumnya. Ada yang katanya bosnya galak, gajinya kurang, tidak ada tunjangan, teman-teman kantor yang tidak asyik… dan masih banyak lagi.
Saya menghela napas. Ya, kadang memang ada orang yang tidak gampang krasan di sebuah tempat kerja. Tapi kalau sering pindah karena jiwa ‘quitter’ ini yang tidak benar.
Jiwa ‘quitter’ ini istilah saya. Artinya orang yang gampang menyerah. Tidak mau berusaha untuk menyelesaikan masalah. Tidak berani menghadapi masalah. Mereka dengan mudah melarikan diri dari masalah itu. Padahal di tempat lain, juga ada masalah. Masalah yang sama. Atau masalah lain yang sama beratnya. Bahkan lebih berat lagi.
Mendendar keluhannya, saya bercerita tentang 2 teman kita yang lain. Kebetulan dia kenal dengan kedua teman itu.
Dua teman kita ini sama pintarnya saat kuliah. Yang satu cowok dan yang lain cewek. Ketika lulus, sang cowok dengan mudah mencari pekerjaan. Sebuah perusahaan multinasional. Tentu ini adalah sebuah pencapaian luar biasa.
Namun sebaliknya dengan sang cewek. Dia tidak kunjung mendapatkan pekerjaan. Padahal sebenarnya yang cewek lebih pintar daripada sang cowok. Bahkan sampai 1 semester dia tidak mendapatkan pekerjaan. Akhirnya dia ke kampus mengeluh ke para dosennya.
Para dosen yang mengetahui kondisinya, berembuk mencari solusi yang tepat. Karena kepintaran sang cewek ini sudah dikenal adik-adik kelasnya. Kalau adik-adik kelas tahu, sang cewek pintar tapi tak beruntung mendapat pekerjaan bisa jadi preseden buruk. Adik-adik kelas bisa tidak giat belajar. “Lha, pintar belum jaminan dapat kerja,” begitu kilah mereka.
Akhirnya para dosen menawari sebagainya sebagai pengajar di situ. Sebuah posisi yang sebenarnya tidak ada dalam angan sang cewek dan tidak pernah menginginkan profesi dosen. Apalagi awalnya hanya dapat gaji dari fakultas. Saat saya kunjungi dia menunjuk sepatunya, “Gajiku hanya bisa membeli sepatu ini,” katanya.
Waktu berjalan. Sampailah ada ‘kiamat kecil’, krisis moneter! Teman kita sang cowok, meski perusahaan multinasional, harus kolaps kena badai krisis moneter. Dia kena PHK. Mulailah dia cari pekerjaan. Tentu saja sebuah usaha yang sulit. Karena saat itu banyak perusahaan tumbang. Banyak pengangguran. Sampai lama dia menganggur.
Sebaliknya sang cewek, karena mungkin dia tahu tidak ada posisi yang bisa menerimanya di luar dosen, dia mulai menekuni profesi dosennya. Dari gaji fakultas, naik gaji rektor akhirnya dia jadi PNS. Saat krisis moneter, dia tenang saja. Wong PNS. Dia malah dapat beasiswa S2 keluar negeri. Sekarang kedudukannya memegang departemen.
Apa yang menjadi pelajaran dari peristiwa itu? Saya lebih suka menggunakan kalimat dari kitab suci. “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu. Dan bisa jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu.” (QS 2:216).
Seperti waktu kita mengikuti percobaan di laboratorium saat sekolah dulu, kita mencampur sebuah bahan ke bahan lain. Kita tidak tahu bagaimana hasilnya sebelum memang dicampur. Demikian juga hidup. Kita tidak tahu apakah dengan pekerjaan kita sekarang lebih baik atau buruk di masa mendatang. Karena kita bukan Tuhan yang bisa melihat masa depan.
Bisa jadi kita benci dengan pekerjaan kita sekarang, tapi ke depan itu baik bagi kita. Kita bisa lebih terangkat potensi kita, lebih kaya dan lebih sesuai dengan keadaan kita. Dan bisa jadi kita suka dengan pekerjaan ini, di perusahaan ini, tapi ke depan memberi hasil buruk kepada kita.
Yang bisa kita lakukan saat kita mendapat takdir di sebuah pekerjaan yang kita terima, adalah bekerja sebaik-baiknya.
Mungkin itu bukan posisi yang baik. Mungkin bukan perusahaan yang besar. Atau istilahnya keren. Mungkin juga bukan pekerjaan yang nyaman dan menyenangkan. Tapi ke depan, itu bisa baik kita. Entah karena perubahan politik, ekonomi atau malah itu sebenarnya cocok buat kita. Kita berada di tempat yang pas. Kita dapat berkembang. Kita jadi maju dan sukses.
Akhirnya saya harus berpisah dengan teman saya itu. Dan berharap dia memahami, bila ada ketidaksukaan pada pekerjaan, solusinya bukan lari ke pekerjaan lain. Kantor lain. Siapa tahu pekerjaan itu, kantor itu, adalah yang terbaik buatnya. [TSA, 16/3/2014 setelah arisan kampung] (*Mochamad Yusuf)
Pilihan Allah biasanya memang terbaik bagi kita.