Saat buka Facebook banyak teman yang men-share wisuda anaknya. Karena pandemi kegiatan wisuda lewat daring. Sang anak hanya diwisuda di rumah. Tampak selain teman saya, yang juga orang tua sang ananda, juga saudara dan anggota keluarga lain. Seperti kakek, nenek, paman, bibi dan lainnya.
Oleh: Mochamad Yusuf*
Momen yang membahagiakan. Karena perjuangan bertahun-tahun akhirnya dapat diselesaikan juga. Sebuah perjuangan yang mungkin dilalui dengan peluh dan air mata. Dan juga momen yang penting. Karena anak sudah dianggap dewasa. Sebab setelah wisuda ini mereka sudah mandiri dengan mulai bekerja. Bahkan bisa jadi pergi jauh dari rumah dan berkeluarga.
Wisuda daring tak mengurangi kebahagiaan mereka. Tentu saja kalau bisa memilih, mereka ingin diwisuda bersama teman-teman di kampus tercinta. Disaksikan para dosen dan anggota keluarga.
Selamat buat mereka dan saya ikut berbahagia. Semoga menjadi ilmu bermanfaat.
Kalau melihat wisuda ini, saya teringat wisuda saya. Khususnya saat wisuda S1 di Unair Surabaya.
Saya teringat wajah-wajah bahagia keluarga saya. Khususnya Bapak saya yang sungguh tak hanya bahagia, tapi bangga pada anaknya. Karena setelah perjuangan yang penuh peluh, air mata bahkan darah akhirnya selesai juga.
Begitu bangganya, kelak sampai KTP saya ada gelarnya. Saat saya protes ke Bapak yang mengurus KTP tersebut, beliau berkata bahwa dapat gelar itu dengan susah payah. Maka patut dijadikan kenangan. Maka meski kelak saya sudah S2 pun, gelar S1 itu saja yang tetap menempel di KTP saya. Bukan apa-apa karena saya menghargai Bapak.
Kebanggaan Bapak itu mungkin karena sebuah peristiwa beberapa tahun sebelumnya. Saat itu menginjak semester 3. Bapak memanggil saya. Sebuah momen yang kikuk, karena saya lihat Ibu hanya diam saja. Tak biasa.
Baru saya menyadari mengapa Bapak dan Ibu merasa tak enak saat itu. Karena Bapak mengutarakan bahwa sejak sekarang, tak mampu membiayai kuliah saya. Saya dipersilahkan terus kalau mau, tapi bayar sendiri karena mereka sudah tak mampu lagi. Bila saya berhenti kuliah dan bekerja, mereka tidak akan marah.
Tentu saja saya gelap. Jelas kalau kuliah butuh biaya. Tak sedikit bagi ukuran kami. Tapi kalau bekerja, saya tak siap untuk bekerja. Apalagi ijazah saya hanya SMA. Kalau SMK mungkin lebih siap karena jiwa dan ilmu yang didapat disiapkan untuk kerja.
Namun akhirnya saya putuskan tetap kuliah. Selama 2 semester setelah itu karena nekat saja saya masih kuliah. Saya bayar SPP dari hutang yang saya kumpulkan dari teman-teman. Namun menginjak semester ke-5, saya bingung harus hutang lagi ke siapa. Hutang di semester sebelumnya saja belum saya bayar.
Akhirnya Allah memberi ide lewat seorang teman yang mencari duit lewat mengajar privat. Saya yang takut bagaimana mengajar privat, dia yang membimbing caranya. Juga mengajari bagaimana cari murid. Malah saya diberi 1 murid pertama karena dia sudah kebanyakan.
Sejak itu saya mulai lega. Sudah bisa membayar kuliah. Dan secara pelan-pelan mulai membayar hutang-hutang. Bahkan kemudian mulai hidup ‘borjuis’ karena saya kelak mendapat beasiswa Supersemar. Bahkan 2 kali. Sesuatu yang jarang mahasiswa dapat beasiswa Supersemar 2 tahun berturut-turut.
Dengan beasiswa itu sebenarnya sudah cukup bayar kuliah. Bahkan masih sisa banyak. Tapi saya tetap mengajar privat, sehingga saya bisa menabung, berlangganan 2 koran, rutin nonton bioskop. Hobi yang saya sukai sampai sekarang. Hehehe.
Maka saat berangkat wisuda ke Gelora Pancasila di Jl Indragiri, betapa Bapak bangga dan bahagianya. Kita berenam naik mobil Angguna yang disopiri sendiri oleh Bapak. Angguna itu seperti mobil double cabin sekarang ini. Tapi tak sekeren itu. Hanyalah mobil Mitsubishi Jet Star yang deret kursi belakang dipotong dijadikan bagasi.
Angguna seperti taksi, tapi kelasnya lebih bawah. Karena tak ada AC. Bagasi itu digunakan mengangkut barang-barang. Maka memang pelanggannya ya rata-rata pedagang kecil. Sebelum Angguna, Bapak menjadi sopir helicak (bajaj), bemo roda 3, roda 4 dan juga taksi.
Kami sekeluarga dan seorang kakak teman saya yang saya minta jadi fotografer berangkat wisuda. Sepulang wisuda kita melambung ke utara. Rumah kami di Surabaya selatan tapi ke utara yakni ke Pasar Krampung. Kami dulu memang tinggal dekat sana.
Ke sana kita makan Soto Ayam yang jadi langganan kalau kami ke pasar itu. Maka lengkap sudah hari itu, kebahagiaan wisuda ditambah mengenang saat menikmati Soto Ayam enak yang sudah lama tidak kami nikmati sejak pindah ke Bratang.
Sebuah kenangan luar biasa. Terima kasih buat Bapak dan Ibu yang mendukung untuk kuliah.
~~~
*Mochamad Yusuf dapat ditemui di http://www.enerlife.id.
Ket. foto: kami lupa menyimpan foto-foto wisuda S1. Foto ini saat saya kecil bersama Bapak, Ibu, adik dan bemo kebanggaan kami.
KIsah yang menarik.. Terima kasih sudah sharing..