Miris mendengarkan berita seorang Ibu yang harus menghukum keras anaknya gara-gara tidak mau sekolah daring. Anaknya tersebut masih duduk kelas 1 SD. Karena pukulan bertubi-tubi dengan gagang sapu maka akhirnya sang anak meninggal dunia.
Oleh: Mochamad Yusuf*
Sedih. Berita ini sepertinya puncak dari berbagai kisah nestapa tentang sekolah daring. Sebelumnya dikabarkan banyak anak sampai jadi penjual koran, penjual jajanan sampai kerja sebagai tukang batu. Semua dilakukan hanya ingin memiliki HP dan pulsa.
Semoga berita kematian di Tangerang itu akhir dari sisi negatif sekolah daring. Tidak ada lagi berita-berita sedih tentang hal ini.
Memang sekolah daring tidak enak. Semua ingin kembali ke kelas. Menuntut ilmu sambil bercengkerama dengan teman-teman. Tapi kondisi pandemi belum memungkinkan. Malah situasinya seperti memburuk. Semakin banyak yang terjangkit Covid-19 dan meninggal karenanya.
Tidak ada yang mau kondisi seperti ini. Mahasiswa saya saja (jauh dari kondisi SD kelas 1 tersebut secara umur) ingin kembali kuliah luring (offline). Khususnya ilmu-ilmu yang bersifat hardskill yang butuh latihan di laboratorium/workshop. Mereka merasakan tidak optimal belajarnya. Juga tidak fokus.
Maka di sini kita dituntut bersabar. Sabar bukan berarti diam dan pasrah. Tapi semakin kreatif dan kerja keras mengatasi masalah ini. Bedanya, sabar tetap menyerahkan hasilnya pada Sang Kuasa.
Seperti hari-hari terakhir ini saya disibukkan (atau dipusingkan?) belajar LMS (Learning Manajemen System) baru. Rasanya belum paham betul dengan Google Classrom, sekarang sudah harus cepat-cepat menguasai Moodle.
Belum harus menyusun strategi mengajar yang adaptif sesuai dengan situasi sekarang. Yakni OBE, Outcome Based Education. Dan saya kira juga semua para pendidik di Indonesia bahkan dunia juga berat. Mereka juga dipusingkan bagaimana tetap mendidik anak didiknya dengan situasi sekarang.
Jadi bukan hanya siswa/mahasiswa yang berat. Juga bukan orang tua (yang setiap hari selalu saya dengar keluhan sekoalh daring di radio interaktif). Semuanya! Termasuk tak terkait pendidikan (gara-gara sekolah daring, omzet transportasi online berkurang dratis. Dampaknya sampai didemo mitranya di Surabaya).
Yang tetap mungkin para civitas akademika pondok pesantren. Mereka sudah tenang di dalam pondok. Sudah me-lockdown sendiri. Mereka tetap belajar seperti biasanya meski tetap melakukan protokol kesehatan. Saya kira para santri harus bersyukur. Bila teman-teman sekolah umum harus berkurang ilmu yang diasup, mereka tetap kenyang dengan ilmu yang harus disuap.
Bisa jadi pandemi ini hanyalah ‘rem’ Maha Kuasa agar manusia jangan terlalu larut dalam dunianya. Masih ada kehidupan lain setelah mati. Akhirat. Nyatanya jam kerja banyak berkurang, aktivitas bisnis juga berkurang, frekuensi transportasi juga menurun. Bahkan sekarang langit semakin biru.
Maka mari semua selalu bersabar. Kembali ke Allah. Nanti bila sudah normal kembali, agar tetap mengingat prinsip ini. ‘Kejar akhiratmu, tapi jangan melupakan duniamu’.
“Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuatbaiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan.” QS 28:77
~~~
*Mochamad Yusuf dapat ditemui di http://enerlife.id.
(Ket. foto searah jarum jam: santri Gontor Putri 1 bersiap kembali ke pondok setelah tertunda-tunda karena pandemi, taruna PPI Curug sedang serius kuliah online, tetap rapi mengajar meski dari rumah, situasi anak SD saat sekolah online).
Betul sekali renungan ini. Sungguh dalam. Terima kasih.