Saya sendiri juga merasakannya demikian. Namun karena saya lebih banyak disuruh kalau berbelanja ke sana, maka saya tak ada pilihan untuk pindah ke toko lain. Takut salah membelikannya.
Oleh: Mochamad Yusuf*
Dulu waktu saya kecil ada sebuah toko kelontong di pasar yang cukup dekat dari rumah. Tokonya cukup besar dan barangnya cukup lengkap. Kalau sekarang setara dengan toko swalayan ‘franchise’ seperti Alfamart atau Indomart. Karenanya kita, saya dan keluarga, sering berbelanja ke sana.
Jaman dulu belum banyak toko yang mengenal konsep swalayan. Yakni pembeli bisa memilih, mengambil, melihat kemasannya dan membandingkan dengan yang lainnya. Ada sih, tapi biasanya ada di supermarket besar di kota seperti Gelael atau toko Nam & Siola, yang sekarang sudah bangkrut.
Biasanya kita akan menanyakan pada penjaga tokonya tentang barang yang akan kita beli. Lalu penjaga tokonya akan mengambilkan barang yang kita minta. Kita akan memegang dan melihatnya. Kalau kurang cocok maka meminta yang lain dan seterusnya sampai akhirnya menemukan kecocokan.
Tentu ini memerlukan kesabaran penjaga toko. Demikian juga memerlukan kecuekan pembelinya untuk meminta ini-itu. Kalau tak ada hal itu pada keduanya, bisa saja tak terjadi transaksi. Atau ketidakpuasan di pihak pembeli, karena merasa terpaksa membelinya.
Kebetulan toko kelontong itu dijaga sendiri oleh pemiliknya, sepasang suami-istri. Dan kadang dibantu pula oleh anak-anaknya. Entah kenapa, istrinya dan kadang anak-anaknya, tak seramah suaminya dalam melayani pelanggan. Sehingga kadang kalau penjualnya bukan sang Bapak, maka beberapa orang membatalkan niatnya untuk membeli. Itu yang terjadi pada Ibu saya.
Dia akan ogah, kalau berbelanja di sana pas dilayani oleh istri pemilik toko. “Malas,” kata Ibu suatu ketika, “Wajahnya ditekuk. Dibeli kok cemberut. Memangnya kita meminta gratis, tidak membelinya. Seperti kita saja yang butuh. Lebih baik beli di toko lain saja.” Begitu gerutuan Ibu suatu ketika.
Saya sendiri juga merasakannya demikian. Namun karena saya lebih banyak disuruh kalau berbelanja ke sana, maka saya tak ada pilihan untuk pindah ke toko lain. Takut salah membelikannya.
Kalau sang suami yang menjaga toko, dia akan ramah dan menjelaskan barang yang dijualnya. Dia akan sabar melayani keinginan pembeli. Secerewet apapun. Bahkan dia tak marah, kalau sudah minta ini-itu, akhirnya tak jadi membeli. Ini yang membikin orang betah berbelanja ke situ.
Bahkan sewaktu ada toko swalayan dibuka dekat situ, tingkat keramaian tokonya tak terlalu berkurang. Namun kelak saat sang suami meninggal, dan lalu digantikan istrinya terus anak-anaknya, maka tokonya lambat laun meredup jadi sepi. Meski sampai sekarang masih ada, tak bangkrut, namun tokonya tidak seperti dulu lagi.
Kini luas tokonya hanya mengambil sepertiga dari tokonya dulu (sisanya disewakan jadi toko lain) dan omzetnya sudah pasti turun drastis. Namun masih tampak etalase, tapi kosong tak ada isinya. Hanya debu dan beberapa barang saja. [TSA, 11/04/2012 tengah malam]
…
[dipotong]
~~~
Artikel ini bagian dari buku yang saya rencanakan untuk terbit. Rencananya ada 99 artikel yang berkaitan dengan rahasia rezeki. Untuk seri 1 sampai 10, anda bisa membaca secara lengkap di http://enerlife.web.id/category/rejeki/. Setelah seri itu, tak ditampilkan secara lengkap. Namun hanya setiap kelipatan seri 5 yang ditampilkan secara lengkap. Jadi pantau terus serial ‘Rahasia Rezeki’ ini.
~~~
*Mochamad Yusuf adalah online analyst, pembicara publik, host radio, pengajar sekaligus praktisi TI. Aktif menulis dan beberapa bukunya telah terbit. Yang terbaru, “Jurus Sakti Memberangus Virus Pada Komputer, Handphone & PDA”. Anda dapat mengikuti aktivitasnya di personal websitenya, http://yusuf.web.id atau di Facebooknya, http://facebook.com/mcd.yusuf .
Pingback: ..| Home of Mochamad Yusuf |..
Pingback: ..| Home of Mochamad Yusuf |..