Sejak itu dia mulai parah penyakitnya. Beberapa kali keluar masuk RS jiwa. Sayangnya orang tuanya tak mampu. Ibunya pembuat kue dan dijual bapaknya. Mungkin karena itu, pengobatannya tak optimal.
Oleh: Mochamad Yusuf*
Lima tahun lalu pas lebaran saya berkunjung ke rumah teman SMA. Namun setelah sampai di sana, ternyata dia sudah pindah. Tetangga yang saya tanya, tak tahu di mana alamat persisnya. Yang mereka tahu sejak ibunya meninggal keluarga teman saya ini pindah ke Mojokerto. Desa asalnya. Ibunya sudah ‘tak kuat’ menghadapi keadaan anaknya.
Saya termangu. Berarti lengkap sudah cerita kesedihan teman saya ini. Saya tadi berharap datang mendapat kabar yang menggembirakan. Memang saya tidak sering datang ke rumahnya. Namun saya usahakan setahun sekali mampir, seperti pas lebaran ini.
Teman saya ini teman sekelas sejak kelas 1. Anaknya pintar. Di sekolah yang katanya kumpulan anak-anak pintar se-Surabaya, dia tetap meraih ranking 1. Di SMP bahkan dia meraih ranking 1 se-sekolah. Luar biasa.
Meski begitu dia tak sombong. Suka menolong temannya yang masih bingung dengan pelajaran. Bahkan alim. Tak neko-neko di usia muda yang biasanya semangat muda memompa aktivitas macam-macam.
Namun karena suatu sebab, di kelas 3 dia mengalami gangguan kejiwaan. Bahkan hamoir tak bisa menyelesaikan sekolah. Namun atas bantuan berbagai pihak, dia bisa lulus meski tak sempat mengikuti UMPTN.
Tahun berikutnya dia ikut UMPTN dan diterima di elektronika ITS. Bagi saya masih luar biasa. Dengan kondisi seperti itu, dia masih bisa menembus persaingan. Berarti dia memang pintar.
Dia dibelikan sepeda balap. Dan mulai hidup normal berkuliah. Namun ini tak berlangsung lama. Hanya sekitar setahunan. Dia kumat lagi gangguan kejiwaannya.
Sejak itu dia mulai parah penyakitnya. Beberapa kali keluar masuk RS jiwa. Sayangnya orang tuanya tak mampu. Ibunya pembuat kue dan dijual bapaknya. Ditambah es gronjong biasanya berjualan di depan sekolah-sekolah. Mungkin karena itu, pengobatannya tak optimal.
Ketika masih sesekolah, saya sering ke rumahnya. Sejak berpisahpun saya masih sering dolan ke sana. Bahkan setelah bekerja selepas lulus, saya masih main ke sana. Saya sempat vakum beberapa tahun setelah menikah.
Kalau saya ke sana, seperti terlihat orang normal. Dia masih bisa diajak komunikasi, meski tidak lancar. Dia sering diam. Matanya menerawang jauh. Kadang ditemani ibunya ketika ngobrol. Tapi tak pernah mengamuk atau melakukan serangan fisik, meski dalam hati ada perasaan takut juga.
Waktu sekolah, saya menebak masa depannya akan cerah gemilang. Anaknya pintar, aktif dan alim. Tracknya sudah benar. Masuk SMA favorit dan kuliah di ITS. Kalau bisa menyelesaikan kuliahnya, dia pasti akan mudah mencari kerja.
Namun nasib berkata lain. Dia tak menyelesaikan sekolah. Bahkan mulai parah, dan ibunya meninggal karenanya. Terakhir malah harus pulang kampung.
Berbeda terbalik dengan teman sebangkunya. Yang juga duduk sebangku sejak kelas 1.
Lulus SMA dia tak kuliah di negeri. Entah gagal UMPTN atau memang tak mau. Kuliah sebentar, dia kerja. Beberapa kali pindah kerja. Bahkan merantau ke luar negeri.
Lama tak bertemu, secara kebetulan pas menjenguk adik teman yang kerja di sebuah operator seluler bertemu. Ternyata teman saya ini bosnya. Kelak ketika saya menawarkan proyek ke sebuah perusahaan seluler lain, tak sama dengan yang tadi, bertemu lagi dengannya. Sekarang dia sebagai direktur untuk Indonesia bagian timur.
Dia dulu di SMA memang bukan ranking paling belakang, tapi bukanlah pula termasuk siswa pandai. Ya ada di bawah level menengah. Tapi siapa yang tahu bagaimana nasibnya nanti.
Di luar kegigihan, keuletan dan kerja keras teman saya yang direktur itu, ada rahasia rejeki yang menggariskannya. Demikian juga karena kondisi tertentu yang menyebabkan teman yang terpintar itu terjerembab ke kondisi kegilaan adalah rahasia rejeki yang menaunginya. Hanya Tuhanlah yang tahu. [TSA, 27/01/2011]
~~~
Artikel ini saya dedikasikan untuk teman saya itu. Saya ingin bertemu lagi sebagai manusia normal. Bekerja, berkeluarga dan mempunyai anak. Saya merindukan ngobrol lagi seperti dulu.
~~~
Artikel ini bagian dari buku yang saya rencanakan untuk terbit. Rencananya ada 99 artikel yang berkaitan dengan rahasia rejeki. Untuk seri 1 sampai 10, anda bisa membaca secara lengkap di sini. Setelah seri itu, tak ditampilkan secara lengkap. Namun setiap kelipatan seri 5, akan ditampilkan secara lengkap. Jadi pantau terus serial ‘Rahasia Rejeki’.
~~~
*Mochamad Yusuf adalah online analyst, pembicara publik, host radio, pengajar sekaligus praktisi TI di SAM Design. Aktif menulis dan beberapa bukunya telah terbit. Yang terbaru, “Jurus Sakti Memberangus Virus Pada Komputer, Handphone & PDA”. Anda dapat mengikuti aktivitasnya di personal websitenya atau di Facebooknya.
Jadi berecermin lagi ke diri saya sendiri, membandingkan antara saya dan adik laki-laki saya..hehe..secara akademis saya lebih cemerlang sementara adik saya “belum cemerlang”. Namun di sisi karir saya merasa masih jauh dari titik pencapaian yg saya impikan, bahkan terkadang merasa hopeless.
bagaimanapun itu crita yg inspiratif. Setidaknya, saya belajar utk tidak buru2 underestimate terhadap seseorang ^_^
Salam p.yusuf,
Cerita yg menggugah. Saya jg ada beberapa teman SMA, persis spt Bapak utarakan diatas. Dan guru2 saya dulu jg pernah bilang “Pinter…ndak selalu inline dengan SUKSES”, banyak ditentukan oleh faktor2 lain.
Temen sy yang selalu jd nomer 1, jd ketua OSIS jg….ternyata kuliahnya amburadul. Pindah2 terus, dan terakhir di ITS jg. Sekarangpun, kontak terakhir…dia hanya jd pegawai biasa sj. Padahal temen2nya yg dulu pas2an…udah jd manager semua.
Itulah nasib. Ada rahasia Alloh SWT disana. Yg penting iktiar…
@Idahrun
Terima kasih komentarnya. Memang jadi rahasia rejeki. Hehehe.