Tiga tahun lalu ada kejadian yang menjadikan saya terkesan pada pujian. Saya melakukan percobaan memuji dan tidak. Saya lakukan pada peristiwa dan lokasi yang sama. Hasilnya ? Luar biasa berbeda.
Oleh: Mochamad Yusuf*
Saat itu ide muncul gara-gara seorang satpam memberikan secarik kertas saat mau menabung di sebuah bank swasta. Kertas itu adalah form feedback penilaian bagi teller. Biasanya saya tak hiraukan. Tak diisi, meski form itu harus diserahkan bersamaan dengan form penabungan.
Awalnya saya heran. Kenapa form feedback diberikan di awal. Tidak setelah berhubungan dengan teller. Bukankah kalau memberikan feedback seharusnya baru dilakukan kalau sudah melakukannya. Bagaimana kita bisa memberikan feedback kalau kita tak tahu kejadiannya. Karena itu biasanya saya cuek dengan feedback ini.
Namun terlintas sebuah ide untuk melakukan percobaan. Saya akan memberikan penilaian yang ekstrim.
Saya perhatikan ada 5 pernyataan dalam form itu. Tiap pernyataan disampingnya ada 5 kolom penilaian. Kolom paling kiri jelek sekali. Dan kolom paling kanan bagus sekali. Kali ini saya isi semua dengan kolom paling kiri. Jelek sekali !
Waktu giliran, saya serahkan form feedback bersamaan dengan nomor antrian dan form penabungan. Pertama kali dia ambil nomor antrian. Dia cek apa benar sayalah gilirannya. OK. Berikutnya dia ambil form feedback.
Sejak awal saya coba konsekuen dengan eksperimen ini. Misal saya diam saja ketika dia menyapa ramah waktu saya tiba di mejanya. Wajah saya tanpa ekspresi. Bahkan mungkin seharusnya terlihat marah dan jengkel.
Saya perhatikan wajahnya waktu mulai membaca form feedback itu. Tiba-tiba wajahnya berubah ekspresinya. Dari yang hangat dan ramah berubah menjadi beku, jengkel dan acuh. Saya biarkan saja. Toh ini hanyalah percobaan.
Selama dia mengerjakan pekerjaan itu dia jadi hening. Saya tak tahu apa dampak form feedback itu. Apakah ada seseorang yang melakukan tabulasi. Dan hasil akhirnya mempengaruhi gajinya. Entahlah.
Ekpresinya tetap sama saat menyerahkan tindasan form penabungan. Meski kemudian dia harus berkata, menanyakan ada lagi yang bisa dibantu, ekspresinya tetap sama. Dan saya tetap konsekuen, diam saja. Cuek tak menjawab.
Saya tinggalkan bank itu. Saya takjub dengan eksperimen ini. Berkali-kali saya menabung di bank itu. Tapi saya tak mengalami kejadian seperti ini. Biasanya form feedback itu kosong tak saya isi. Mungkin kalau kosong bisa dianggap sebagai tak ada transaksi dan tak ada penilaian.
Hasil ekperimen hari itu adalah selain wajah teller yang beku, pelayanannya menjadi standar. Namun sorenya saya baru sadar ada akibat lain. Saya kehilangan uang 75.000 ! Saya baru ingat seharusnya saya mendapat kembalian 75.000 karena saya menabung lebih kecil dari uang yang saya setorkan. Mungkin karena terpengaruh dengan feedback itu, sehingga dia tidak fokus. Atau jengkel pada saya ?
“Wah eksperimen yang mahal !” pikir saya. Sudahlah buat pembelajaran. Saya juga belajar menjadi hati-hati kalau mau menabung dengan uang yang lebih banyak dibanding form penabungan.
Penabungan berikutnya saya peercobaan lagi. Kali ini saya coba ekstrim sebaliknya. Semuanya saya nilai bagus sekali. Saat saya serahkan, saya coba diam tak ekspresi.
Saat dia membaca form feedback, wajahnya berubah dari standar (pelayananan) menjadi ceria. Dia bersemangat dalam melakukan pekerjaannya. Bahkan dia mengerjakan itu sambil berdiri. Melihat hal itu, saya sampai tak tahan berkomentar, “Kok nggak duduk saja mbak ?” “Oh tak apa-apa Pak,” jawabnya. Dengan mengerjakan komputer sambil berdiri, memang saya rasakan dia memberikan penghormatan kepada saya.
Hasil percobaan ini menunjukkan pujian akan mempengaruhi semangatnya. Saya jadi teringat pengalaman Jalaluddin Rakhmat, seorang pakar komunikasi, waktu kuliah di Amerika. Waktu diperkenalkan di kelas, dosennya mengatakan dia adalah mahasiswa cerdas (bright). Padahal maksudnya karena dia mendapat beasiswa Fullbright. Tapi yang terjadi dia menjadi bersemangat untuk belajar. Sehingga akhirnya dia mendapat ranking top.
Pak Tino Sidin, pengasuh acara menggambar di TVRI beberapa tahun silam, selalu memberi pujian setiap gambar yang dikirim padanya. Dia melakukannya untuk memberi semangat kepada yang mengirim. Harapannya mereka bersemangat untuk belajar lebih tekun.
Saya yakin setiap pujian akan memberi dampak positif bagi yang dipuji. Menjadi semangat dan daya dorong untuk lebih menjadi seperti apa yang dipuji.
Bagi kita yang memuji, sebenarnya tak ada bedanya memuji atau tidak. Tenaga yang dikeluarkan sama, baik memuji atau tidak. Namun pujian itu sangat berarti bagi yang dipuji. Selain itu, dia menjadi berterima kasih. Sehingga hubungan menjadi lebih akrab dan erat lagi.
Pujilah dia khususnya yang berhungan dengan apa yang dikerjakan. Kapan terakhir anda memberikan pujian? Jadi kenapa anda tidak mulai sekarang sering memuji?
Bagaimana pendapat anda?
~~~
*Mochamad Yusuf adalah konsultan digital marketing, pembicara publik, youtuber, pengajar sekaligus praktisi TI. Aktif menulis dan buku best sellernya, “99 Jurus Sukses Mengembangkan Bisnis Lewat Internet”. Anda dapat mengikuti aktivitasnya di websitenya http://enerlife.id atau di Facebooknya, http://facebook.com/enerlife .
Betul. Makanya kalau bisa kita berusaha bisa meneluarkan semangat. Juga bergaul dengan orang-orang yang positif sehingga tertular positifnya. Maka jadis emangat terus!