Oleh: Mochamad Yusuf*
Saya suka musik. Saya mulai kenal musik saat kelas 1 SMP. Itu saat saya harus masuk sekolah di siang hari. Memang di SMP saya itu, untuk siswa kelas 1 masuk siang.
Di rumah setelah semua berangkat aktivitas, Bapak pergi kerja dan adik-adik pergi sekolah, Ibu mulai bekerja. Bekerja di rumah. Dia menjahit konveksi. Dia mengambil bahan dari juragannya, menjahitnya di rumah dan kalau sudah selesai disetorkan kembali ke juragannya. Ibu biasanya kerja sebelum Subuh, setelah Isyak dan setelah semuanya pergi beraktivitas.
Sambil bekerja Ibu akan menyetel radio. Saya lupa stasiun radionya apa. Yang jelas di pagi hari itu Ibu menyetel lagu-lagu barat Oldies, seperti “House for Sale”, penyanyi Frank Sinatra, The Beatles dan lain-lain. Sedang saat itu saya belajar mempersiapkan sekolah siang harinya nanti.
Jadi mau tidak mau saya mendengarkan lagu-lagu ini. Mungkin karena setiap hari mendengarkan lagu-lagu ini, akhirnya saya mulai suka musik. Awal-awalnya ya suka lagu-lagu barat lama, lalu ke mana-mana. Bisa barat, Indonesia bahkan rock.
Setelah nanti kerja, kesukaan saya akan musik semakin menggila. Saat di SCTV saya dengan mudah bisa mendengarkan lagu-lagu yang lagi hits. Banyak video klip di kantor. Saya tinggal pinjam dan menyalinnya (copy). Bahkan ada teman yang suka mengumpulkan video klip, saya lalu meminjamnya. Lalu saat kerja di SAM Design bekerja dengan anak-anak muda. Hampir tidak ada jeda untuk hening. Selalu ada musik. Karenanya mau tidak mau saya mendengarkan lagu. Jadi saya tahu lagu yang sekarang jadi tangga lagu.
Namun saat dewasa ini, saya menikmati lagu-lagu dengan sudut berbeda. Saya mencoba menikmati lagu-lagu ini dengan sudut agak spiritual. Hehehe. Sering dalam lagu, khususnya lagu-lagu cinta, sering lagu tersebut menggambarkan tentang cintanya pada pasangan. Memuji, memuja dan mencintai dia.
Maka banyak digunakan kata ‘Mu’, ‘Kamu’, untuk memanggil pasangannya. Misal: “Aku tanpamu butiran debu.” ‘Mu’ di sini berarti pasangannya. Tapi dengan konsep saya ini, “Mu” ini adalah Tuhan. Jadi ‘Mu’ dengan M huruf besar. Jadi dengan konsep baru saya, saya memahami lirik ini menjadi “sehingga tanpa dirimu, Tuhan, saya hanyalah sebutir debu.”
Ya, mungkin ada beberapa lirik kurang tepat. Tapi beberapa hal lain sangat tepat. Jadi kalau saya menyanyikan lagu, bila merupakan lagu cinta, maka Mu adalah Tuhan. Jadi saya tetap menikmati lagu tersebut, dan membuat saya memuji, memuja dan menunjukkan cinta pada Tuhan.
Untuk jelasnya sebagai contoh akan saya ambil lagu favorit saya terbaru: “Butiran Debu” yang aslinya dinyanyikan oleh Rumor. Dan terakhir-terakhir dinyanyikan oleh Tere.
Lirik BUTIRAN DEBU
Oleh: Rumor/Tere
Namaku cinta ketika kita bersama
Berbagi rasa untuk selamanya
Namaku cinta ketika kita bersama
Berbagi rasa sepanjang usia
Hingga tiba saatnya aku pun melihat
Cintaku yang khianat, cintaku berkhianat
Aku terjatuh dan tak bisa bangkit lagi
Aku tenggelam dalam lautan luka dalam
Aku tersesat dan tak tahu arah jalan pulang
Aku tanpamu butiran debu
Namaku cinta ketika kita bersama
Berbagi rasa untuk selamanya
Namaku cinta ketika kita bersama
Berbagi rasa sepanjang usia
Hingga tiba saatnya aku pun melihat
Cintaku yang khianat, cintaku berkhianat ooh
Menepi menepilah menjauh
Semua yang terjadi di antara kita ooh
Aku terjatuh dan tak bisa bangkit lagi
Aku tenggelam dalam lautan luka dalam
Aku tersesat dan tak tahu arah jalan pulang
Aku tanpamu butiran debu
(aku terjatuh dan tak bisa bangkit lagi
(Aku tenggelam dalam lautan) dalam luka dalam
Aku tersesat dan tak tahu arah jalan pulang
Aku tanpamu butiran debu, aku tanpamu butiran debu
Aku tanpamu butiran debu, aku tanpamu butiran debu
Sekarang dengan konsep baru, saya nyanyikan lagu dengan memahami lirik seperti ini. Sehingga terasa menyentuh, bahwa tanpa Tuhan kita hanyalah sebutir debu. Tanpa Tuhan, kita akan tenggelam dalam luka yang dalam. Tanpa Tuhan kita bisa tersesat dan tak tahu arah jalan yang benar. Jadi cobalah sekarang cobalah menyanyikan lagu ini dengan konsep baru saya ini.
BUTIRAN DEBU
Oleh: Rumor/Tere
Namaku cinta ketika kita bersama
Berbagi rasa untuk selamanya
Namaku cinta ketika kita bersama
Berbagi rasa sepanjang usia
Hingga tiba saatnya aku pun melihat
Cintaku yang khianat, cintaku berkhianat
Aku terjatuh dan tak bisa bangkit lagi
Aku tenggelam dalam lautan luka dalam
Aku tersesat dan tak tahu arah jalan pulang
Aku tanpaMu, (Tuhan, hanyalah) butiran debu
Namaku cinta ketika kita bersama
Berbagi rasa untuk selamanya
Namaku cinta ketika kita bersama
Berbagi rasa sepanjang usia
Hingga tiba saatnya aku pun melihat
Cintaku yang khianat, cintaku berkhianat ooh
Menepi menepilah menjauh
Semua yang terjadi di antara kita ooh
Aku terjatuh dan tak bisa bangkit lagi
Aku tenggelam dalam lautan luka dalam
Aku tersesat dan tak tahu arah jalan pulang
Aku tanpaMu, (Tuhan, hanyalah) butiran debu
(aku terjatuh dan tak bisa bangkit lagi
(Aku tenggelam dalam lautan) dalam luka dalam
Aku tersesat dan tak tahu arah jalan pulang
Aku tanpaMu, (Tuhan, hanyalah) butiran debu, Aku tanpaMu, (Tuhan, hanyalah) butiran debu
Aku tanpaMu, (Tuhan, hanyalah) butiran debu, Aku tanpaMu, (Tuhan, hanyalah) butiran debu
[PR, 08/02/2013].
~~~
Kubah adalah Kuliah Bekal Hidup. Tulisan di serial Kubah ini mencoba mencari hikmah dari semua kejadian yang terjadi di alam. Semoga dengan hikmah ini kita dapat hidup bahagia di dunia dan mulia di akhirat. Artikel lain bisa Anda baca di serial ‘Kuliah Bekal Hidup, http://www.enerlife.web.id/category/kubah/’ lainnya.
~~~
*Mochamad Yusuf adalah online analyst, konsultan tentang online communication, pembicara publik tentang TI, host radio, pengajar sekaligus praktisi TI. Aktif menulis dan beberapa bukunya telah terbit. Yang terbaru, “Jurus Sakti Memberangus Virus Pada Komputer, Handphone & PDA”. Anda dapat mengikuti aktivitasnya di personal websitenya, http://yusuf.web.id atau di Facebooknya, http://facebook.com/mcd.yusuf.