Jika seseorang memiliki kesalahan pada kita, mungkin memaafkan menjadi hal sulit untuk dilakukan. Presiden Soekarno pernah ‘menyerang’ ulama besar, Buya Hamka. Presiden melalui headline beberapa media cetak asuhan Pramoedya Ananta Toer melakukan pembunuhan karakter atas diri Hamka.
Meski begitu karakter Hamka masih terlalu kuat. Sehingga pada 1964 Presiden tak sungkan-sungkan menjebloskan ulama besar asal Minangkabau ini ke dalam penjara. Dua tahun 4 bulan lamanya Hamka dipenjara tanpa bukti. Tanpa persidangan.
Kelak setelah Buya Hamka bebas, beliau tak dendam pada mereka yang membuatnya menderita. Ini karena beliau menerapkan dengan dalam sikap memaafkan. Memaafkan merupakan sifat terpuji dan bagian dari akhlak mulia yang telah diperintahkan oleh Allah.
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”. QS 3:133-134.
Kalau kita tak mampu membalas sikap dzalim pada kita, maka memaafkan jalan paling enak. Tapi bagaimana kalau kita punya kemampuan bahkan kemampuan kita lebih besar daripada yang menyakiti kita? Apa yang harus kita lakukan bila agama kita dilecehkan? Apakah di sini kita lebih baik memaafkannya?
Mari kita simak kajian Ustadz Assoc. Prof. Dr ACHMAD ZUHDI DH, M.Fill.I, dosen Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya sekaligus guru kajian hadits. Beliau juga pengurus Muhammadiyah Jatim dan kontribur majalah Muhammadiyah Matan. Sebuah kajian yang kronologis dan detil dengan dilengkapi kisah-kisah Islami di sini.