Saya sebenarnya ingin menulis hal ini beberapa hari lalu. Namun saya tunda, mungkin saja saya salah. Meski waktu itu naga-naganya demikian. Tapi dengan menulisnya sekarang lebih terlihat buktinya.
Apa yang ingin dibuktikan? Tanggungjawab!
Oleh: Mochamad Yusuf*
Persis 8 hari lalu (tepatnya senin 15 desember) di Surabaya terjadi hujan lebat disertai angin kencang. Pohon-pohon menari-nari diterpa kuatnya angin. Beberapa ranting tak kuat bertahan dari induknya. Jatuh berserakan di jalan. Membuat jalan semakin banyak halangan memperparah kemacetan yang sudah ada, karena banjir.
Namun ada peristiwa yang luar biasa. Angin kencang itu menumbangkan billboard di depan lahan hotel JW Marriot. Tumbangnya billboard JW Marriot ternyata menghunjam nyawa seorang pengendara sepeda motor. Ikut terbawa aksi maut ini 3 orang pengendara motor luka berat. Mereka diam menunggu ancaman maut billboard karena waktu itu jalan macet.
Billboard yang ditenggerkan dari rangka besi tentu saja bukan tandingan rangka tulang manusia. Tentunya berat luar biasa. Namun ternyata kedalaman pondasi billboard ini cuma 1 meter (bahkan dari teman-teman media, saya dapat info cuma setengah meter). Kesalahan ini ternyata ditambah matinya ijin billboad tersebut selama 5 bulan sejak juli lalu.
Kejadian yang jelas-jelas melanggar semua aturan ini, sampai detik ini tidak ada yang bertanggung jawab. Atau seharusnya yang bertanggung jawab. Padahal sudah jatuh korban 1 nyawa manusia. Semuanya saling lempar tanggung jawab dan menuding sana-sini.
Peristiwa lain hampir sama. Billboard yang berbentuk LCD terbakar jumat kemarin (19/12). Padahal lokasinya melintang di atas jalan. Billboard ini dipasang di jembatan penyeberangan. Meski tak memakan korban, beberapa pengendara trauma melewati jalan itu. Lagi-lagi di sini semua diam. Tak ada tindakan yang diambil, siapa yang seharusnya bertanggung jawab. Padahal dampak kerugiannya sudah jelas. Macet. Terlebih kejadiannya di jalan protokol utama Surabaya, jalan Basuki Rakhmat seperti jalan Sudirman di Jakarta.
Yang lebih parah ambrolnya jembatan. Kejadiannya lebih lama dari tumbangnya billboard JW Marriot. Ambruknya jembatan, yang dibangun melintas sungai Kalidami ini, memakan korban lebih banyak. Tiga nyawa. Bahkan dua harus diambil secara susah payah.
Padahal jelas-jelas ada pelanggaran di sini. Besi rangka yang seharusnya ditanam berdiameter cuma 19 (mm?). Padahal seharusnya menurut bestek adalah 25 (mm?). Pekerjanya sendiri sampai heran, kok tidak seperti biasanya.
Dan sampai detik ini pun tidak jelas siapa yang bertanggung jawab. Bahkan di awalnya pihak yang berwenang membangung jembatan ini tidak jelas. Pemkot Surabaya menuding Pemprop Jatim. Pemprop Jatim melempar ke pemkot Surabaya. Bikin jengkel. Masak tak tahu siapa yang berwenang membangun jembatan ini, wong memakan biaya rakyat Jatim dan Indonesia (APBN) milyaran rupiah.
Demikian murahkah harga nyawa Indonesia? Di luar negeri jelas sudah ada pejabat yang mundur karena bertanggung jawab. Dan pasti ada yang kena dampak hukumnya. Di sini sampai beberapa hari tidak jelas siapa yang seharusnya bertanggung jawab.
Apakah karena orang Indonesia adalah bangsa pemaaf? Yang selalu memaklumi semua kejadian, terlebih karena akibat alam. Ataukah bangsa Indonesia adalah bangsa pelupa? Diamkan saja. Bikin bingung dulu dengan melempar tanggung jawab dan penjelasaan ‘mbulet’, bersamaan berlalunya waktu pastilah lupa dengan kejadian ini.
(Makanya saya tulis tentang hal ini. Saya mungkin saja juga lupa. Tapi dengan dimuatnya di internet ini akan jadi kajian bagi penerus bangsa kelak. Ceiilee).
Kalau memang tidak ada yang bertanggung jawab (siapa yang mau dipenjara?), seharusnya pihak penegak hukum melakukan penelusuran terhadap hal ini (Gampang kok). Nantinya pasti ketahuan yang bertanggung jawab. Entah besar atau kecil.
Misal di peristiwa tumbangnya billboard JW Marriot itu. Siapakah yang telah menandatangani ijinnya? Tidak adakah yang salah misalnya lokasi terlalu dekat dengan jalan. Atau siapakah yang bertanggung jawab terhadap masalah billboard ini termasuk pengawasannya? Bagaimana mungkin billboard yang sudah mati ijinnya masih bertengger dengan manisnya. Siapakah pemborongnya yang sampai tega hanya menanam sedalam 1 mater? Dan apakah pemilik billboard mengetahui semua ini? Semuanya jelas. Tapi kenapa kok tidak terdengar di publik ada tindakan hukum kepada mereka?
Apakah mereka tak peduli dengan nyawa yang sudah jadi tumbal? Apakah perlu menunggu pengadilan yang sejati di akhirat kelak? Apakah mereka tak takut kalau anak, orang tua, saudara, teman bisa mengalami nasib seperti itu? Apakah mereka tak tahu ada balasan cepat atau lambat, langsung atau tidak langsung ke mereka bahkan mungkin lebih parah.
Hukum karma maksudmu? Apakah warga Indonesia selalu diberi pilihan keputusan seperti ini. Hukum karma atau pengadilan sejati. Dimanakan sejatinya para pemerintahan kita (penyelenggara negara, penegak hukum dan pengadilan)?
Entahlah.
Anda tahu jawabannya? Bagaimana pendapat anda?
~~~
*Mochamad Yusuf adalah konsultan digital marketing, pembicara publik, youtuber, pengajar sekaligus praktisi TI. Aktif menulis dan buku best sellernya, “99 Jurus Sukses Mengembangkan Bisnis Lewat Internet”. Anda dapat mengikuti aktivitasnya di websitenya http://enerlife.id atau di Facebooknya, http://facebook.com/enerlife .