Contact us now
+6289-774455-70

Master of Facebook (3): Mengapa Saya Harus Kuliah Lagi?

Ini tentu saja berat. Karena kondisinya beda kan? Seperti Zidan. Statusnya hanya pelajar. Jadi tak ada beban atau pekerjaan lain selain sekolah dan belajar. Sedang saya harus bekerja dan berkeluarga.

Oleh: Mochamad Yusuf*

“Mengapa saya harus kuliah lagi?”

Pertanyaan ini selalu mendengung di kepala saya. Pertanyaan yang muncul hebat sebelum saya putuskan kuliah. Dan ternyata pertanyaan itu masih mendesing di tengah perkuliahan. Bahkan masih terus berkecamuk sesaat sebelum lulus kuliah. Entah, sampai sekarang mungkin pertanyaan itu masih terus hinggap di benak saya, meski sudah lulus kuliah sekalipun.

Betul. Saya perlu menanyakan hal ini. Karena saya merasa tak memiliki motivasi untuk sekolah lagi. Tak ada untungnya saya sekolah lagi. Padahal kuliah lagi tak hanya memerlukan waktu, pikiran dan tenaga, tapi juga uang! Cukup banyak uang.

Saya hanyalah pegawasi swasta di perusahaan yang tak cukup besar. Bukan kerja di sebuah perusahaan nasional yang besar. Atau di BUMN, pegawai negeri atau TNI/Polri. Karena pegawai di instansi tersebut gelar pasca mungkin berguna bagi karir dan jabatannya.

Seperti yang saya tahu ada aturan di sebuah BUMN untuk sebuah jabatan haruslah bergelar strata 1 atau strata 2. Tentu kalau tak memiliki syarat ini, janganlah bermimpi meraih jabatan itu.

Perusahaan saya tak terlalu mementingkan gelar. Bukan gelar yang dinilai. Tapi ‘skill’, pengetahuan dan kompetensi yang akan mempengaruhi karirnya. Sehingga semua orang selama mampu, dia bisa saja meraih posisi tersebut, dengan gelar S1, S2, S3 atau malah tanpa gelar.

“Lha, kamu kan juga dosen, Suf?”

Betul. Saya adalah seorang pengajar. Untuk tingkatan perguruan tinggi, saya sudah mulai mengajar sejak tahun 2000. Yakni mengajar D1 Multimedia di STIKOM Surabaya. Lalu pernah mengajar di PPB-UNESA, LP3I, Universitas Kristen Petra, bahkan sempat di UNAIR meski hanya beberapa pertemuan. Dan sekarang masih mengajar di STIKOM Surabaya dan UTS (Universitas Teknologi Surabaya).

Namun di situ, saya bukanlah seorang ‘dosen murni’. Ini istilah saya. Saya hanya mengajar sebagai dosen luar biasa. Seminggu hanya 1 kelas. Itupun hanya bisa saya lakukan di malam hari. Karena siang hari saya harus bekerja sebagai pegawai swasta tadi.

Status dosen luar biasa ini, mungkin karena kemampuan dan pengalaman saya bekerja. Bukan gelar atau ‘background’ pendidikan saya. Seperti di STIKOM itu, saya mengajar web design karena pekerjaan saya memang membuat website. Atau mata kuliah lain yang pada dasarnya masih terkait dengan pekerjaan saya di kantor.

Mengapa pertanyaan “Mengapa saya harus kuliah lagi?” ini sering muncul? Ini biasa timbul saat harus membayar kuliah. Sejak awal, saya bertekad biaya kuliah tidak boleh mengurangi atau mengganggu sedikit pun anggaran rumah tangga. Jadi saya ambilkan dari ‘uang rejeki’. Orang Surabaya sering menamakan sebagai ‘uang laki’.

Namun uang laki ini tak rutin datang atau bisa selalu diharap di waktu tertentu kan? Jadi bisa saja, saat dibutuhkan, uang laki itu belum ada di saku. Sehingga akhirnya muncul pertanyaan itu.

Lalu apa jawaban saya bila muncul pertanyaan itu?

Entahlah.

Saya tak punya jawaban yang tepat untuk pertanyaan itu. Mungkin saja buat berjaga-jaga, bila memang nanti untuk jadi pengajar S1 harus S2. Meski bukanlah profesi utama, mengajar tetap harus saya lakukan. Sebagai sebuah kebutuhan eksis, karena harus selalu terpaksa belajar, bersosialisasi atau mungkin sebagai hobi.

Atau mungkin mencari sebuah suasana baru. Bekerja lama, rutin bahkan di sebuah tempat yang sama, memunculkan kebosanan dan kejenuhan. Kuliah bisa memberi warna baru, karena ada suasana baru yang bisa saya hirup.

Atau mungkin mencari kenalan baru. Karena teman-teman kuliah yang berdatangan dari luar kota, luar pulau bahkan luar negeri. Dengan teman-teman baru mendapat pengalaman, pengetahuan dan persahabatan baru. Juga bisa berkenalan dengan dosen-dosen yang mumpuni dari perguruan tinggi hebat di tempat lain.

Atau memberi contoh pada Zidan, anak laki saya yang duduk di kelas V SD dan Zelda, anak perempuan saya yang masih duduk di TK B. Bahwa ayahnya yang masih kerja, berkeluarga, bertetangga, berkarya masih saja bisa meluangkan waktu untuk sekolah lagi.

Masih saja mau untuk belajar sampai larut malam. Masih ‘bela-belain’ nglembur sampai pagi hari untuk mengerjakan tugas dan UAS. Masih juga membeli buku yang tebal dan mau membacanya (meski tak semua dibaca sampai habis). Masih juga untuk berusaha disiplin kuliah tepat waktu.

Sehingga kalau suatu ketika Zidan dan Zelda malas belajar (dan ini memang sering), saya dengan lantang bisa meminta mereka untuk belajar. Kalau mereka masih ogah, saya katakan bahwa ayah saja masih bekerha dan berkeluarga saja masih mau untuk belajar. Jadi kalau memarahi atau menyuruh, ada perasaan tenang di dada. Bahwa saya tak sekedar menyuruh, tapi saya juga melakukannya.

Saya memang lebih suka memberi contoh. Atau lakukan dulu, baru menyuruh yang lain melakukan. Karena itu, saya tenang saja menyuruh Zidan atau Zelda shalat, karena saya sudah shalat. Tentu saja ada perasaan bersalah, bila saya sebagai orang tua ingin anak saya sebagai anak shaleh dengan menyuruh shalat, namun yang menyuruh belum shalat.

Ini tentu saja berat. Karena kondisinya beda kan? Seperti Zidan. Pekerjaannya hanya pelajar. Jadi tak ada beban atau pekerjaan lain selain sekolah dan belajar. Sedang saya harus bekerja dan berkeluarga. Masak masih harus belajar juga?

Tapi prinsip saya, yakni memberi contoh bukan menyuruh, semua itu harus saya kerjakan. Termasuk juga harus sekolah lagi. Padahal sekolah lagi memerlukan banyak ‘effort’ khususnya dana yang tak sedikit.

Jawaban terakhir inilah sementara adalah jawaban yang saya pikir tepat. Jadi sementara ini, motivasi saya sekolah lagi karena memberi contoh.

Tapi sekolah saya kan sebentar, 2 tahun, sedangkan sekolahnya Zidan dan Zelda masih lama kan (masih beberapa tahun lagi)? Untuk ini, mungkin saya harus sekolah lagi. Dan lagi. Dan lalu muncul lagi pertanyaan itu. Hehehe. [TSA, 13/3/2012 malam]

Tulisan iseng ini hanya memperingati, ternyata saya bisa melewati juga keprihatinan babak II ini. Tujuan tulisan ini untuk memberi semangat anak-anak saya untuk selalu belajar. Semoga kelak Zidan dan Zelda membaca tulisan ini. Tulisan-tulisan tentang ini bisa anda ikuti di serial ‘Master of Facebook’.

*Mochamad Yusuf adalah magister komunikasi yang meneliti tentang Facebook. Karenanya dijuluki temannya sebagai master Facebook. Dia adalah online analyst, pembicara publik, host radio, pengajar sekaligus praktisi TI. Aktif menulis dan beberapa bukunya telah terbit. Anda dapat mengikuti aktivitasnya di personal websitenya, http://yusuf.web.id atau di Facebooknya, http://facebook.com/mcd.yusuf.

3 Comments - Leave a Comment
  • Pingback: ..| Home of Mochamad Yusuf |..

  • Leave a Reply