Contact us now
+6289-774455-70

Jarak Yang Semu

Kenapa dia berteriak? Apakah dia kehilangan kesabaran? Ataukah marahnya ini agar didengar anak lain sebagai pelajaran? Bukankah anaknya dekat? Suara biasa saja sudah terdengar, tak harus berteriak.

Oleh: Mochamad Yusuf*

Pada suatu hari Sabtu saya mengantarkan Zidan ke sekolah. Sabtu sebenarnya libur sekolah. Tapi karena ada kegiatan sekolah, saya harus mengantarkan. Antar jemputnya libur. Setiba di sekolah, saya melihat banyak juga orang tua yang mengantarkan anaknya.

Sekolah begitu riuh. Ada yang bermain, duduk-duduk saja, dan ada yang jajan di warung sekolah. Tiba-tiba perhatian saya terpecah oleh suara keras. Pandangan saya arahkan ke orang tua yang memarahi anaknya. Tampaknya sang anak ‘mogok’ entah kenapa.

Saya heran, jaraknya cukup jauh tapi terdengar marahnya orang tua ini. Berarti sang orang tua berteriak. Tapi kenapa dia berteriak? Apakah sang orang tua kehilangan kesabaran? Ataukah supaya marahnya orang tua ini bisa didengar anak lain sebagai pelajaran? Bukankah anaknya dekat? Suara biasa saja sudah terdengar. Tak harus berteriak.

Ya, kenapa? Tapi kalau kita melihat orang yang pacaran, mereka malah bisik-bisik. Kita di sampingnya malah tak bisa mendengarkan apa yang mereka perbincangkan. Bahkan kerap kita lihat mereka yang jatuh cinta itu tak berkata-kata. Hanya saling berpandangan.

Ini karena jarak hati yang bisa berubah. Ketika marah, seakan-akan jarak mereka jauh, meski secara fisik dekat. Untuk mencapai jarak itu, mereka harus berteriak. Semakin keras berteriak, semakin marah dan semakin jauh jarak hatinya. Karena itu mereka harus berteriak lebih keras lagi.

Sedangkan saat pacaran, hati mereka tak berjarak. Sangat dekat. Bahkan tak perlu sepatah katapun diucapkan. Tatapan mata sudah cukup membuat mereka memahami apa yang akan dikatakan.

Melihat kejadian itu, saya menarik pelajaran. Bila kita dilanda kemarahan, janganlah memperlebar jarak hati. Apalagi ditambah kata-kata yang bisa menambah jarak hati lagi. Mungkin saat seperti ini, malah tak perlu mengucapkan kata. Diam mungkin lebih bijaksana. Waktulah yang akan mendinginkan kemarahan itu. [TSA, 10/5/2010 subuh]

~~~
*Mochamad Yusuf adalah online analyst, pembicara publik, host radio, pengajar sekaligus praktisi TI di SAM Design. Aktif menulis dan beberapa bukunya telah terbit. Yang terbaru, “Jurus Sakti Memberangus Virus Pada Komputer, Handphone & PDA”. Anda dapat mengikuti aktivitasnya di personal websitenya atau di Facebooknya.

4 Comments - Leave a Comment
  • Mochamad Yusuf -

    @Edward
    Dan itu adalah sesuatu yang sulit. Itu mungkin nature. Ya, kita semoga mendapat kekkuatan untuk tak gampang berteriak ketika marah. Tapi itu memang berat.

  • edward -

    benar banget itu pak, anda telah menyadarkan saya akan hal itu, semoga saja saya selalu mengingatnya, dan mematerinya dalam hati, untuk tidak lagi berteriak saat marah, yang akan menjauhkan hati ini dari mereka yg sebenarnya sangat kita sayangi……. terima kasih…..

  • Mochamad Yusuf -

    Ya, yang susah adalah menyadari bahwa kita sedang marah. Berteriak-teriak itu sering kita tak menyadarinya. Karena itu lebih baik pas marah kita diam saja. Tunggu redanya. Tapi percayalah hal ini yg paling sulit.

  • Pingback: ..| Home of Mochamad Yusuf |..

  • Leave a Reply