Contact us now
+6289-774455-70

Mengukur Kesuksesan Pameran Buku

Dalam kurun sebulan terakhir, Surabaya diguyur 2 pameran buku besar. Penyelenggaranya 2 grup besar media Indonesia, bertempat di markasnya masing-masing. Mana yang lebih sukses & memuaskan pengunjung?

Oleh: Mochamad Yusuf*

Dua minggu lalu, saya bersama keluarga datang ke pameran yang diadakan oleh Gramedia. Tepatnya oleh Dyandra yang masih satu grup dengan KKG (Kelompok Kompas Gramedia). Bertempat di Gramedia Expo di pusat kota Surabaya. Dan Kamis kemarin saya dan Zidan, anak laki saya, datang ke Gebyar Buku Murah di DBL Arena di kompleks kantor Jawa Pos Ahmad Yani. Jalan raya utama ke luar kota menuju Sidoarjo.

Entah kebetulan atau insting, saya telah mengambil keputusan tepat. Di pameran Jawa Pos ini saya hanya ajak Zidan dan tak membawa Karin, si cantik Corona Absolute saya. Padahal sebelumnya di Gramedia kita full tim, tambah Zelda, anak perempuan saya dan mamanya. Meski Zidan merengek minta pergi sama Karin, saya abaikan.

Pameran buku di Gramedia Expo

Dan keputusan saya tepat, karena pengunjungnya ramai sekali. Berdesak-desakkan. Tak ada sela untuk jalan dengan tenang. Kalau saya bawa Zelda, ini membuatnya tak leluasa untuk berjalan. Seperti pas di Gramedia Expo, dia malah bisa bermain-main. Paling-paling saya harus menggendongnya terus. Capek Deh..

Ada untungnya juga saya bawa Vito, ini nama motor Supra Fit saya. Karena parkirnya motor di bawah basement. Jadi kalau mau pulang tinggal pakai saja, karena sadelnya tak panas. Sedang kalau bawa mobil, rasanya harus parkir di luar. Yang di dalam sudah penuh. Padahal Surabaya sedang terik-teriknya. Apalagi kemarin kita berangkat jam 11.15 siang. Tentu kalau masuk ke mobil bisa jadi roti tart yang barusan dipanggang. Kalau di Gramedia mobilnya parkir di 2 lantai bawah basement.

Lalu mana yang lebih sukses dari 2 pameran itu?

Bagaimana mengukurnya? Jumlah peserta pameran yang mengikuti? Atau nilai transaksi total yang terjadi? Atau jumlah pengunjung total selama pameran? Dua hal pertama, tentu EO-nya yang punya data pasti. Sedang jumlah pengunjung agak susah menghitungnya, karena tak ada karcis yang bisa dihitung. Eeiit, saya bukan minta harus bayar kalau masuk lho! Beli karcis atau apalah, tapi tak bayar, bisa jadi alat menghitung peserta.

Kalau melihatnya secara kasat mata juga susah. Karena Gramedia Expo luas dengan langit-langit yang tinggi. Sedang DBL Arena ini, satu lantai di bawah lapangan basket, tidak terlalu luas dengan langit-langit yang tak tinggi. Bahkan dibawah tangga menuju gelanggang lebih rendah lagi. Untungnya tak dipakai (hanya salah satu sisi dipakai sebagai kantin). Sehingga dengan jumlah pengunjung yang sama, efeknya bisa beda. Di Gramedia bisa terasa lengang, sedang di DBL Arena bisa tampak berdesak-desakan.

Pesertanya juga beda. Di Gramedia kebanyakan yang ikut adalah penerbit. Sedangkan di DBL Arena kebanyakan toko buku, bahkan dari sekolah. Yang saya herankan kok grupnya Jawa Pos tidak ikut ya? Kecuali JTV, rasanya yang lain tak ada. Misal: grup Nyata, grup Liberty, korannya dan lainya. Kok nggak kompak gitu melihatnya. Beda dengan di Gramedia, semua grupnya ikut, sampai hotel Santika (ya, masih satu grup) ikut juga.

Ya, kita kecewa karena ini. Karena niat kita ke sana sebenarnya beli majalah Quark (bahkan kalau memungkinkan berlangganan). Ini majalah anak-anak yang katanya masih satu grup dengan Jawa Pos. Zidan sudah meminta lama, saya berjanji pas ada pameran buku saja. Pas pameran di Gramedia kita cari tak ketemu. Kata petugas jaga, Quark itu grupnya Jawa Pos, di grup Gramedia ada Bobo dan Mombi.

Saya bayangkan grupnya Jawa Pos yang lain ikut serta. Pasti lebih ramai lagi, apalagi yang tak terkait penerbitan ikut misal Fath yang bergerak di travel. Wong kemarin saya ikut seminar dapat contoh terbitan grup Nyata (benar Cantiq dan Kokiku di grup ini?), selain Nyata. Saya tahu yang menyelengarakan adalag Jepe Books, satu grup lagi di bawah Jawa Pos yang bergerak di penerbitan.

Saya tak beli buku apa-apa, kecuali Zidan yang beli Naruto yang terbaru. Eh, susah bagaimana mencari dan melihat-lihatnya di kerumuman pengunjung yang membludak itu. Pasti tak asyik.

“Alaa.. pasti karena kamu nggak punya uang saja Suf,..” Hehehe, iya sih. Tanggal tua. Tapi karena mungkin masih banyak buku yang sudah saya beli tapi belum dibaca. Bahkan ada 3 buku yang masih plastikan. Ini gara-gara selalu tak tahan godaan pameran buku. Diskon, diskon. Hehehe.

Tapi seharusnya faktor kepuasan peserta juga dinilai untuk melihat kesuksesan pameran. Tentu kalau hal ini jadi penilaian, pemenangnya adalah Gramedia. Suasananya enak dan nyaman. Saya bersama keluarga menikmati pameran ini. Bahkan Zelda, anak saya berumur 2 tahun, berjalan ke sana ke mari dengan tenang. Membaca dan memilah dengan enak. Tidak berdesak-desakan. Udara terasa segar.

Di Jawa Pos rasanya tidak bisa bernafas. Terlalu bombatis kata-katanya ya? Ya deh, kurang segar lha udaranya. Dan pasti tak nyaman kalau mengajak keluarga berjalan-jalan di sini. Juga pasti juga susah untuk melihat dan mencari-cari.

Pameran buku di DBL Arena Jawa Pos

Tapi saya kira Jawa Pos sudah berhasil. Karena ini rasanya yang pertama Jawa Pos mengadakan pameran untuk umum di DBL Arena. Belum berpengalaman. Sedang Gramedia, EO-nya saja Dyandra yang sudah berpengalaman itu. Ke depan Jawa Pos harus banyak melakukan evaluasi dan perbaikan-perbaikan.

Yang jelas, saya dan mungkin warga Surabaya, senang dengan hal ini. Apalagi nanti secara teratur diselenggarakan di kota tercinta. Setahun 4 kali, tiap 3 bulan misal.

Saya tak peduli apakah itu grupnya Jawa Pos atau KKG, selama itu pameran buku, kita akan datang. Karena itu perlu lebih fair (saya dengar ada larangan untuk ikut pameran buku dari grup besar media Indonesia yang lain). Grup untung, kita untung. Betul tidak?

Dengan ajegnya pameran, semua senang. Penerbit untung, bukunya laris. Masyarakat gembira, mengetahui informasi buku bahkan mendapatkan harga lebih terjangkau. Swasta juga riang, karena sektor riil jalan. Departemen/dinas pendidikan bahagia, karena membantu penyebaran buku, khususnya BSE (Buku Sekolah Elektronik). Dan pemerintah bangga, karena bisa mendukung program mencerdaskan bangsa. Semuanya happy.

Dan saya lebih happy lagi, kalau ada buku saya yang tergeletak di sana. Syukur-syukur jadi rebutan karena best seller. Atau ada di panggung lagi mempromosikan buku sambil menanda tangani bukuku. Hehehe. Kapan ya ini terjadi? Semoga bukan impian saya di siang hari bolong. Amin. (TSA, 27 Maret 2009 subuh).

~~~
*Mochamad Yusuf adalah konsultan digital marketing, pembicara publik, youtuber, pengajar sekaligus praktisi TI. Aktif menulis dan buku best sellernya, “99 Jurus Sukses Mengembangkan Bisnis Lewat Internet”. Anda dapat mengikuti aktivitasnya di websitenya http://enerlife.id atau di Facebooknya, http://facebook.com/enerlife .

One Comment - Leave a Comment
  • Leave a Reply