Contact us now
+6289-774455-70

Kolang-Kaling [8]: Hutang Adalah Musuh Silaturahmi

Hutang. Siapa yang tak kenal istilah ini? Tapi hutang adalah momok dan musuh bagi silaturahmi. Seringkali hutang ini menjadi pemutus kongsi, perkawanan, kekerabatan bahkan menjadi permusuhan!

Oleh: Mochamad Yusuf*

Seorang teman mengeluh. Saudaranya bila ada pertemuan keluarga seringkali tidak hadir. Paling dia terlihat saat mengantarkan istrinya. Duduk sebentar, lalu menghilang. Muncul lagi saat menjemput istrinya.

Dia ‘takut’ dengan seorang saudara lainnya. Kalau saudara yang ‘ditakutkan’ ini ada, sudah pasti dia tidak berani muncul di rumah pertemuan itu. Kalau mengantar, istrinya akan diturunkan jauh dari rumah. Dan sebaliknya, akan dijemput jauh dari rumah pertemuan.

Usut punya usut, ternyata saudara yang ‘takut’ pertemuan ini, memiliki hutang pada saudara yang ‘ditakutinya’. Mungkin karena masih belum sanggup membayar, dia jadi malu bertatap muka pada saudara yang telah meminjaminya. Jadinya dia menghindar pertemuan keluarga yang kemungkinan besar didatangi saudara yang ‘ditakuti’ itu.

Hutang. Ini adalah momok dan musuh bagi silaturahmi. Seringkali hutang ini menjadi pemutus kongsi, perkawanan bahkan kekerabatan.

Dulu waktu kuliah saya memiliki teman yang menurut saya bermasa depan cerah. Aktivitasnya di luar kampus dan kemampuan akdemisnya luar biasa. Seniornya, sekarang ketua partai politik besar di negeri ini, sampai kesengsem untuk lebih membinanya. Saya sendiri juga mengaguminya.

Namun suatu hari dia datang ke rumah. Sebuah kejutan. Karena dia tidak pernah datang ke rumah. Meski berkali-kali saya undang ke rumah, dia tidak mau juga datang ke rumah. Malah saya yang sering main ke rumahnya.

Ternyata ‘semangatnya’ dia datang ke rumah karena mau berhutang. Kebetulan saya sudah bekerja, dan dia masih belum lulus kuliah. Karena saya percaya dia, saya pinjami. Namun karena mengikuti tuntunan agama, saya membuat surat pernyataan hutang. Sederhana. Tidak resmi pakai materai segalanya. Yang penting ada bukti hitam di atas putih.

Sejak itu dia sepertinya menghilang. Dia jarang mau datang berkumpul dengan teman-teman lain. Saya tidak tahu apakah dia juga berhutang pada yang lainnya. Yang jelas kalau saya datang ke rumahnya, dia sudah seterbuka lagi seperti dulu. Dia menerima di ruang yang jauh dari anggota keluarganya.

Kalau saya tunjukkan kertas perjanjian itu, dia menjawab dalam bahasa Inggris kalau belum punya uang. Saya paham dia pakai bahasa Inggris, meski tidak fasih, supaya tidak didengar anggota keluarganya.

Beberapa kali ke sana sambil membawa kertas perjanjian itu. Tapi hasilnya nihil. Lama-lama saya malas ke sana. Dan saya lupa menyimpannya. Sampai sekarang dia belum membayar. Dan saya malah sekarang lupa berapa besarnya. Cukup besar. Karena uang segitu bisa buat nyewa gedung pertemuan.

Saya sedih akan hal ini. Dia menghilang tak tahu rimbanya. Bahkan sejak munculnya Facebbok, saya juga tidak melihat kemunculannya di sini. Yang jelas, masa depannya tidak secerah yang kita bayangkan dulu.

Lain lagi di kantor. Entah ada apa dengan saya, banyak karyawan dengan strata bawah seperti sopir dan office boy berniat hutang pada saya. Kok saya? Kenapa tidak pada karyawan lain yang pangkatnya lebih tinggi daripada saya? Entahlah.

Berdasar pengalaman dulu-dulu, saya sebenarnya tidak mau menghutangi. Bukan karena pelit. Tapi saya takut hubungan pertemanan itu bisa putus.

Namun beberapa dari mereka tetap nekat dan curhat pada saya tentang permasalahan keluarga dan kecilnya pendapatan? Lama=lama saya tidak tega. Ketika saya memberi hutang, saya sudah menyadari kemungkinan akan putus hubungan yang sudah sangat baik itu.

Betul. Sejak itu, kalau ada saya tiba-tiba dia menghindar. Kalau dia duduk-duduk dengan temannya lalu saya datang, dia langsung pergi. Padahal saya tidak berminat menagihnya.

Mungkin karena sungkan, lama-lama dia membayar. Tapi dengan mencicilnya. Belum sampai lunas, dia sudah keluar (resign/memgundurkan diri) tanpa berpamitan ke saya. Dan otomatis masih meninggalkan hutang pada saya. Saya sedih, hanya karena sejumlah uang dia harus memutus silaturahmi ini.

Karena itu, akhirnya saya malas memberi hutang. Kalau ada yang datang yang ingin berhutang ke saya, saya katakan saya tidak memiliki uang nganggur sejumlah yang diinginkan. Tapi saya punya sejumlah uang, yang biasanya dibawah jumlah yang diinginkan, yang mau saya sedekahkan ke dia. Gratis. Saya beri. Bukan hutang.

Ya, saya tahu mungkin ini mengecewakan dia. Karena dia tidak bisa membawa sejumlah uang yang dibutuhkan. Tapi daripada tidak sama sekali membawa uang alias tangan hampa, biasanya dia menerima pemberian saya itu.

Saya sendiri juga enak. Tidak kepikiran dengan uang yang saya hutangkan. Saya tidak perlu mengingat besar uang yang dihutangnya. Dan yang penting, silaturahmi kita jalan terus. Tidak ada yang merasa ‘takut’ kalau berjumpa dengan saya.

Ini ‘win-win solution’.

Dan ini menyelamatkan silaturahmi dengan seorang saudara. Suatu saat dia datang ke rumah. Dan dia mengatakan barusan kecopetan, dan dia berniat hutang. Lalu saya katakan saya hanya punya uang sejumlah ini. Ini saya sedekahkan. Ini pemberian saya. Bukan hutang.

Dia awalnya menolak. Mungkin sungkan kalau meminta. Tapi akhirnya dia menerima juga. Karena saya tetap bersikukuh tidak mau menghutangi. Dan hanya berniat memberi sejumlah uang. Daripada tidak membawa uang, kan lebih diterima. Toh nilai ini juga uang yang bisa berguna.

dengan model seperti ini, silaturahmi saya dan dia jalan terus. Dia tidak malu berjumpa lagi dengan saya. Malah kemudian rajin datang ke rumah sambil membawa buah tangan.

Lain lagi ceritanya dengan teman saya yang lain. Dia punya sahabat karib sejak SMP. Sejak SMP itu dia bersama. SMA bareng, kost-kostan bareng bahkan bekerja di tempat sama. Lalu setelah menikah dan memilki anak dia tetap berteman dengan baik dengannya.

Saya tanya apa resepnya. Mudah, katanya. Yakni menjauhkan uang dari persahabatan itu. Artinya tidak saling berhutang, bahkan berbisnis bareng. Uang, katanya, bisa merusak hubungan pertemanan yang sudah terjalin sejak lama.

Yah, saya setuju dengan pendapatnya. Semoga saya masih bisa menolong dengan memberi uang. Bukan memberi hutang. Selain berpahala, juga tetap menjalin silaturahmi dengan baik. Amin. [UTS, 27/11/2012]

~~~
<em>Tidak seperti serial tulisan saya lainnya, serial <a href="http://www.yusuf.web.id/tag/kolang-kaling/">'Kolang-Kaling'</a> ini adalah tulisan saya yang warna-warni. Tidak ada benar merah tema yang diusung. Yang jelas adanya keinginan menulis. Maka tulisan serial ini ada. Hehehe. Anda bisa membaca tulisan saya pada serial-serial yang serius di <a href="http://www.enerlife.web.id">http://enerlife.web.id</a></em>

~~~
*Mochamad Yusuf adalah online analyst, pembicara publik tentang IT, host radio, pengajar sekaligus praktisi IT. Aktif menulis dan beberapa bukunya telah terbit. Yang terbaru, “Jurus Sakti Memberangus Virus Pada Komputer, Handphone & PDA”. Anda dapat mengikuti aktivitasnya di personal websitenya, http://yusuf.web.id atau di Facebooknya, http://facebook.com/mcd.yusuf .

2 Comments - Leave a Comment

Leave a Reply